Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio pembayaran utang atau Debt to Service Ratio (DSR) Tier-1 Indonesia di akhir kuartal III-2022 mengalami penurunan. Berdasarkan data yang dihimpun dari Bank Indonesia (BI), DSR Tier-1 kuartal III-2022 tercatat sebesar 16,9% atau turun dari kuartal II-2022 yang sebesar 17,92%.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penurunan DSR Indonesia disebabkan oleh dua faktor, yakni masih kuatnya transaksi berjalan Indonesia dan juga adanya penurunan utang luar negeri (ULN) Indonesia.
Josua bilang, penguatan transaksi berjalan Indonesia masih berkaitan dengan masih solidnya harga-harga komoditas utama Indonesia, seperti batubara dan juga nikel.
Baca Juga: Menuju Kemungkinan Resesi, Risiko Terhadap Stabilitas Keuangan Uni Eropa Meningkat
Selain itu, volume permintaan ekspor juga masih relatif kuat, terutama untuk komoditas energi dan pangan di tengah tensi geopolitik yang belum mereda.
"Agregat surplus neraca perdagangan Indonesia pada kuartal III-2022 tercatat sebesar US$ 14,90 miliar, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kuartal II-2022, namun relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal-kuartal sebelumnya," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (17/11).
Sementara itu, apabila dilihat secara agregat, juga terjadi penurunan ULN Indonesia, dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Josua bilang, penurunan ULN Indonesia pada kuartal III-2022 sebenarnya lebih didorong oleh keluarnya investor asing dari pasar obligasi Indonesia serta pelunasan ULN bilateral Indonesia.
Penurunan ULN dari Surat Berharga Negara (SBN) domestik pada kuartal III-2022 dibandingkan dengan kuartal II-2022 adalah sebesar US$ 4,49 miliar. Sementara itu, terjadi kenaikan ULN berbentuk SBN valas sebesar US$ 1,29 miliar seiring dengan penerbitan SBN valas di kuartal III-2022.
Baca Juga: Realisasi Investasi Masih Jauh dari Komitmen Penerima Insentif Pajak
"Hingga akhir tahun, DSR Indonesia berpotensi masih cenderung turun, terutama karena potensi arus keluar para investor akibat ketidakpastian kebijakan The Fed," katanya.
Dari sisi transaksi berjalan, Josua memperkirakan masih akan cenderung surplus, yang diakibatkan oleh harga komoditas yang saat ini masih belum mengalami penurunan yang signifikan, sementara permintaan akan batu bara cenderung tinggi menjelang musim dingin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News