kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.476.000   8.000   0,54%
  • USD/IDR 15.855   57,00   0,36%
  • IDX 7.134   -26,98   -0,38%
  • KOMPAS100 1.094   -0,62   -0,06%
  • LQ45 868   -3,96   -0,45%
  • ISSI 217   0,66   0,31%
  • IDX30 444   -2,90   -0,65%
  • IDXHIDIV20 536   -4,36   -0,81%
  • IDX80 126   -0,06   -0,05%
  • IDXV30 134   -2,14   -1,58%
  • IDXQ30 148   -1,23   -0,83%

Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%, Indef Sebut Industri Manufaktur Harus Tumbuh 9%


Senin, 18 November 2024 / 15:38 WIB
Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8%, Indef Sebut Industri Manufaktur Harus Tumbuh 9%
ILUSTRASI. Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, industri manufaktur harus tumbuh 8,5% - 9%. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc/17.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri manufaktur merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Industri pengolahan atau manufaktur perlu didorong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius sebesar 8% pada masa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menilai, untuk mencapai ekonomi 8%, industri manufaktur harus tumbuh kisaran 8,5% hingga 9% per tahun dengan nilai produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan sebesar Rp 16.000 triliun.

“Industri pengolahan adalah kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi selalu tergantung pada pertumbuhan industri. Biasanya kalau industrinya tumbuh, ekonominya tumbuh, kalau industri melambat ekonomi melambat,” tutur Ahmad dalam diskusi INDEF, Senin (18/11).

Ia menilai, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut memang cukup sulit. Pasalnya, saat ini nilai PDB industri atas dasar harga konstan masih sekitar Rp 2.200 triliun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan industri manufaktur hanya sebesar 4,24% atau sebesar Rp 242 triliun terhadap PDB atas dasar harga konstan pada kuartal III 2024. Sementara itu, Secara struktur, sektor manufaktur berkontribusi sebesar 19,02% dalam PDB harga berlaku.

Baca Juga: Apa Jurus Indonesia Bisa Keluar dari Jebakan Pertumbuhan Ekonomi 5%?

Lebih lanjut, Ahmad membeberkan, pemerintah setidaknya bisa terlebih dahulu mengerek pertumbuhan ekonomi ke level 6%. Dengan target tersebut sektor industri pengolahan harus menyumbang rata-rata pertumbuhan dari 2025 sampai 2045 sebesar 7,5%.

“Nah kalau mampu mencapai 6% maka 2041 kita mampu menjadi negara maju,” ungkapnya.

Apabila industri manufaktur mampu tumbuh 7,5%, maka nilai PDB industrinya harus mencapai Rp 12.000 triliun atas harga konstan, atau harus naik enam kali dari kondisi saat ini.

“Ini menjadi tantangan, bagaimana meningkatkan PDB industri, apakah dari produktivitas tenaga kerja, apakah dari nilai investasi, atau apakah dari fiskalnya,” tambahnya.

Adapun Ahmad mencatat, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sektor industri ditargetkan berkontribusi 30% ke PDB. Meningkat dari kondisi saat ini sebesar 18,5%-19% dari PDB.

Baca Juga: Aprindo Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12%, Ini Alasannya

Lebih lanjut, Ahmad menyampaikan, agar sektor industri dan pertumbuhan ekonomi mini bisa tumbuh sekitar 8%,  maka semua sektor ekonomi dari pertanian hingga jasa produktivitas total faktor (PTF) harus tumbuh 3,20%. Sementara itu, ia mencatat, PTF dalam 10 tahun terakhir belum pernah tumbuh diatas 3,20%.

“Dalam 10 tahun terakhir PTF paling 1,5% ini sudah bagus. Nah kita harus mendongkrak ini. PTF itu isinya yang dominan adalah tenaga kerja dan capital atau modal,” ungkapnya.

Disamping itu, untuk mendorong industri dan pertumbuhan ekonomi, investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) harus tumbuh sekitar 18%, dan kinerja ekspor rata-rata konsisten harus tumbuh 12% di 2025-2024.

Meski begitu, perjalanan untuk mencapai target tersebut tidak mudah. Menurutnya, untuk meningkatkan PTF selama ini terkendala ICOR yang masih tinggi sekitar 6. Artinya untuk memproduksi satu barang, diperlukan banyak modal. Berbeda  dengan negara lain yang ICOR nya kecil, untuk memproduksi satu barang hanya dibutuhkan sedikit modal.

“Nah ini menjadi tantangan, meski investasi yang datang banyak, tapi ternyata investasinya tidak efisien terlihat dari ICOR tinggi, harus ada perbaikan, seperti dari biaya logistik dan energi," tandasnya.

Selanjutnya: Daging Ayam & Minyak Goreng Turun, Cek Harga Pangan di Sulawesi Barat Senin (18//11)

Menarik Dibaca: Hujan Petir Landa Daerah Ini, Berikut Prakiraan Cuaca Besok (19/11) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek)

[X]
×