Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah menunda rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Eks Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat menghambat pemulihan daya beli masyarakat yang baru mulai membaik setelah lima bulan berturut-turut mengalami deflasi.
“Iya dong, kami tidak setuju penerapan PPN 12 persen. Baru saja kita deflasi dan mau kembali pulih. Jangan, PPN itu harus ditangguhkan,” ujar Roy saat ditemui di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Roy menjelaskan bahwa kenaikan PPN di tengah momentum pemulihan akan semakin menekan daya beli masyarakat. "Minimal daya beli harus kembali dulu, setidaknya selama satu tahun, atau kalau bisa dua tahun," imbuhnya.
Baca Juga: Tarif PPN 12%, Tingkatkan Risiko Kemiskinan hingga Tekan Daya Saing Investasi
Menurutnya, pengusaha ritel memiliki harapan besar terhadap perbaikan ekonomi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, jika kebijakan kenaikan PPN tetap dilakukan, hal tersebut dikhawatirkan akan mengurangi ekspansi yang telah direncanakan pelaku usaha ritel.
“PPN dari 11 persen menjadi 12 persen itu harus ditangguhkan. Kami berharap pemerintah dapat memahami tantangan ini agar konsumsi masyarakat tidak terganggu,” tegasnya.
Roy menambahkan bahwa puncak produktivitas industri ritel nasional biasanya terjadi pada momen Ramadhan, Idul Fitri, dan Natal-Tahun Baru. Namun, tantangan ekonomi yang terjadi pada 2024, termasuk tren deflasi, telah menahan laju pertumbuhan sektor ritel.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi selama lima bulan berturut-turut di awal tahun 2024 mengakibatkan penurunan permintaan domestik dan melambatnya konsumsi rumah tangga. Baru pada Oktober 2024, inflasi tercatat kembali terjadi, menandakan permintaan mulai pulih.
Namun, dampak deflasi yang panjang membuat pertumbuhan sektor ritel pada 2024 diperkirakan turun menjadi 4,8%, dibandingkan dengan 5,3% pada 2023.
“Deflasi ini bukan berarti harga naik, tetapi daya beli masyarakat yang menurun. Ditambah lagi dengan banyaknya PHK yang terjadi, lebih dari 50 ribu pekerja terkena dampaknya,” ujar Roy.
Di tengah kondisi tersebut, Aprindo meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam menentukan waktu kenaikan PPN. "Kami berharap pemerintah memberikan ruang bagi pemulihan daya beli masyarakat dan industri ritel. Jika PPN dinaikkan terlalu cepat, dampaknya akan dirasakan langsung oleh konsumen dan pelaku usaha,” kata Roy.
Ia optimis bahwa tantangan ekonomi dapat diatasi jika pemerintah memberikan kebijakan yang mendukung pemulihan, termasuk menunda kenaikan PPN hingga kondisi konsumsi masyarakat benar-benar stabil. “Tantangan pasti ada, tetapi di tengah tantangan itu ada peluang. Untuk itulah, kita butuh kebijakan yang tepat waktu,” tutupnya.
Baca Juga: Konsumsi Rumah Tangga yang Melemah Butuh Stimulan, Bukan Aneka Kenaikan Pungutan
Selanjutnya: Evander Holyfield Mengomentari Penampilan Mike Tyson Lawan Jake Paul
Menarik Dibaca: Konsumsi Minuman Ini Sebelum Tidur untuk Menurunkan Berat Badan, Ada 10 Pilihan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News