kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kejagung buka kasus kerugian negara di Danareksa, BBTN dan BMRI, ini detailnya


Jumat, 21 Februari 2020 / 23:27 WIB
Kejagung buka kasus kerugian negara di Danareksa, BBTN dan BMRI, ini detailnya
ILUSTRASI. Menko Polhukam Mahfud MD (kanan) bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) berjalan seusai melakukan pertemuan di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Pertemuan Menko Polhukam dan Jaksa Agung itu membahas tentang pelanggaran HAM di masa lalu, pena


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Selain kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menyidik dugaan tindak pidana korupsi di sejumlah bank dan industri keuangan lainnya.

Terbongkarnya kasus dugaan korupsi PT Jiwasraya, kata Jaksa Agung ST Burhanuddin melibatkan investor asing dan lokal sekaligus.  Ini membuat kerepotan bagi penilaian negara, dan ini sangat mengganggu investor," kata Burhanuddin, saat menjadi pembicara dalam Rapat Koordinasi Investasi 2020 di Grand Ballroom Ritz Carlton, Kamis (20/2).

Kasus dugaan korupsi Jiwasraya diestimasi telah merugikan negara sampai Rp 17 triliun. Belum lagi, kata Burhanuddin, kasus di industri keuangan lainnya seperti kredit PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) hingga PT Danareksa Sekuritas, anak usaha PT Danareksa serta PT Bank Tabungan Negara (BBTN) .

Dalam paparan, Jaksa Agung membeberkan penindakan Kejagung terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian dan penggunaan fasilitas kredit dari Bank Mandiri kepada PT Central Steel Indonesia.

Selain itu, Kejagung juga tengah melakukan penindakan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pembiayaan Danareksa Sekuritas dan serta tindakan pidana korupsi terkait pemberian Kredit Yasa Griya (KYG), oleh PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Cabang Semarang kepada PT Tiara Fatuba dan novasi kepada PT Nugraha Alam Prima serta PT Lintang Jaya Property.

Seperti apa tiga kasus besar yang siap dibuka Kejagung, ini kronologi detailnya dan para tersangka:

Pertama: kasus dugaan penyalahgunaan  fasilitas kredit PT Central Steel Indonesia oleh Bank Mandiri

Kasus penyalahgunaan kredit ini oleh PT Central Steel Indonesia (CSI) bermula di tahun 2011. Saat itu, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) memberikan fasilitas kredit sebesar Rp 550 miliar kepada CSI. Fasilitas kredit ini berjangka waktu 5 tahun mulai 2011 sampai 2015. Pinjaman tersebut rencananya digunakan untuk pembangunan pabrik dan modal kerja.

Hanya, dalam proses mendapatkan kredit tersebut, PT CSI menyerahkan data dan laporan keuangan yang tidak akurat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tak hanya itu saja, dalam persidangan PKPU di pengadilan niaga di tahun lalu juga terungkap, sebagaian dana pinjaman dari Bank Mandiri tersebut masuk ke rekening pemegang saham CSI.

Pada tanggal 2 Januari 2019, Kejaksaan Agung sudah menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus dugaan kasus pemberian kredit Bank Mandiri (BMRI) kepada PT Central Steel Indonesia. Kejagung juga menetapkan PT Central Steel Indonesia sebagai tersangka korporasi dalam kasus ini.

Baca Juga: Kuasa hukum dua bos Central Steel ingin pemegang saham lain bertanggungjawab

Enam orang orang itu adalah mantan Team Leader Bank Mandiri CBC Solo berinisial MAEP, mantan Senior Credit Risk Manager RRM VII Semarang-Floor Solo inisial HA, CBC Manager Bank Mandiri Solo berinisial ED, PKMK-RRM VII Semarang-Floor Solo berinisial MSHM.

Kemudian GH-Regional Commercial Sales 2 berinisial SBR dan PKMK-Commercial Risk berinisial MSP. Enam orang dan PT CSI ditetapkan sebagai tersangka sejak 2 Januari 2019.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sebelum penetapan enam orang dan PT CSI, Kejagung lebih dulu menetapkan Direktur Utama PT CSI Erika Widiyanti dan seseorang bernama Mulyadi Supardi (MS alias HP atau Aping) sebagai tersangka. Keduanya diduga melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit yang diberikan.

Berdasarkan keterangan kejaksaan, perbuatan para tersangka tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp 201,18 miliar.

Kedua,  kasus dugaan korupsi atas pemberian fasilitas pembiayaan Danareksa Sekuritas kepada dua debitur yakni PT Aditya Tirta Renata dan PT Evio Sekuritas

Kasus penyalahgunaan fasilitas pembiayaan Danareksa terkuak saat terjadi gagal bayar dari repo (gadai) saham di PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) di tahun 2015.

Kasus membuka tabir adanya penyalahgunaan fasilitas pembiayaan Danareksa Sekuritas. 3 Juni 2015,  Danareksa Sekuritas memberikan fasilitas pembiayaan repurchase agreement (repo) kepada PT Aditya Tirta Renata senilai Rp 50 miliar.

Pembiayaan repo tersebut memiliki tenor selama satu tahun, terhitung sejak tanggal 3 Juni 2015 hingga 28 Mei 2016. Atas pembiayaan repo itu, Aditya Tirta Renata memberikan jaminan saham SIAP sebanyak 433 juta saham, dengan memakai acuan harga penutupan perdagangan pada 25 Mei 2015 sebesar Rp 231 per saham. Aditya Tirta juga memberikan jaminan tambahan aset tanah seluas 5.555 m2.

Baca Juga: Jejak Danareksa di rights issue SIAP

Namun, sejak Oktober 2015, Aditya mulai tak membayar bunga dan pokok pinjaman ke Danareksa. Sesuai perjanjian fasilitas kredit itu, Danareksa punya kuasa penuh untuk menjual paksa saham SIAP alias forced sell, jika Aditya Tirta Renata tak membayar kewajibannya. Hanya “Forced sell tak pernah dilakukan, sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI) mensuspensi 6 November 2015,” ujar Mukri, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaam Agung kepada kontan saat itu.

Dalam pemberian fasilitas pembiayaan kepada Aditya Tirta Renata, Kejaksaan Agung menduga telah terjadi penyimpangan karena mempedomani Surat Keputusan Komite Pengelola Resiko

Terkait dengan kasus ini, Kejagung saat ini sudah menetapkan lima orang tersangka. Mereka adalah  Rennier Abdul Rachman Latief (RAR) sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Utama  SIAP, Teguh Ramadhani (TR) adalah CEO PT EVIO Sekuritas serta Zakie Mubarak Yos (ZMY) adalah pemegang saham SIAP. Sedangkan dua tersangka lainnya  datang dari Danareksa. Keduanya adalah MHH dan SJD.

Baca Juga: Transaksi semu SIAP seret banyak sekuritas

Jika merujuk kasus ini terjadi,  saat itu, direktur utama danareksa sekuritas dijabat oleh Marciano H. Herman, sementara Sujadi menjabat sebagai Direktur. Marciano sebelumnya juga menjabat sebagai direktur utama PT Bahana Pembangunan Usaha Indonesia, sebelum dicopot oleh Menteri BUMN Erick Thohir pada pertengahan bulan ini.

Kini, para tersangka ini mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).  “Prosesnya masih beracara pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pra peradilan diajukan oleh penasehat hukum tersangka," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono di Jakarta, Rabu (19/2). Kasus tersebut diduga merugikan negara sampai ratusan miliar miliar.

Kasus ketiga adalah dugaan penyalahgunaan kredit yasa griya atau kredit kontruksi oleh PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)

Dalam dokumen yang diterima KONTAN, masalah  hukum yang melibatkan BTN tersebut terkait proses novasi dua debitur di Semarang dan Sidoarjo.

Proses novasi di Semarang berawal dari pemberian kredit kepada PT Tiara Fatuba (TF) untuk selanjutnya di novasi ke PT Nugra Alam Prima (NAP) dan dinovasi kembali ke PT Lintang Jaya Properti (LJP).

PT Tiara Fatuba merupakan debitur awal yang memperoleh fasilitas kredit Rp 12 miliar pada tanggal 14 November 2012 dan kredit modal kerja Rp 3,2 miliar pada tanggal 28 Mei 2012.

Kredit tersebut untuk pembangunan rumah Graha Cepu Indah di Kabupaten Blora, Jawa Tengah dengan agunan kredit berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama PT Tiara Fatuba.

Permasalahan kredit PT Tiara Fatuba diduga bermula pada pengucuran beberapa kredit dengan agunan sama, sementara proyek pembangunan dalam status terhambat.

Alhasil, kolektibilitas kredit debitur PT Tiara Fatuba masuk dalam status kolektibilitas 5 atau macet. Langkah penyelamatan kredit melalui lelang hak tanggungan dilakukan 27 Februari 2015, namun sepi peminat.

Baca Juga: Kasus novasi BTN, Kejagung sudah kantongi nama tersangka?

Anehnya, pada 30 Desember 2015 dilakukan novasi pada debitur baru yakni PT Nugra Alam Prima dengan plafon kredit Rp 20 miliar untuk melanjutkan proyek perumahan Graha Cepu Indah sebanyak 283 unit.

Namun, PT Nugra Alam Prima disebutkan tidak ada penambahan prestasi proyek dan pencairan atas tambahan kredit yang diberikan ke PT Nugra Alam Prima untuk melunasi beberapa utang PT Tiara Fatuba ke beberapa kreditur.

"Itu mengakibatkan gagalnya proses balik nama sertifikat atas nama PT TF ke PT NAP sehingga novasi tersebut dilakukan, tapi agunan belum diikat secara sempurna," tulis dokumen tersebut.

Hasilnya, PT Nugra Alam Prima tidak mampu membayar kredit sesuai dengan jadwal dan kolektibilitas kredit masuk menjadi kol 3.

Tidak berhenti di situ. Pada 30 November 2016 kembali dilakukan novasi kepada debitur baru atas nama PT Lintang Jaya Properti dengan plafon kredit Rp 27 miliar untuk melanjutkan proyek perumahan yang berganti nama menjadi TRC sebanyak 283 unit.

Baca Juga: Kejagung Menyidik Kasus Kredit Macet Lebih dari Rp 150 Miliar di Bank BTN

Namun PT Lintang Jaya Properti tidak dapat melakukan penjualan rumah yang terbangun karena belum ada balik nama sertifikat dari PT TF kepada PT Lintang Jaya Properti. Walhasil, status kredit PT Lintang Jaya Properti hingga saat ini masuk dalam posisi macet atau kol 5.

Sementara proses novasi di Sidoarjo diawali pemberian kredit kepada PT GPW untuk selanjutnya di novasi ke PT Nugra Alam Prima dan di novasi kembali ke PT Lintang Jaya Properti.

Adapun, PT GPW merupakan debitur kredit awal di Gresik yang mendapat fasilitas kredit sebesar Rp 4 miliar dan KPL senilai Rp 1 miliar pada 20 Desember 2011.

Total jenderal kasus Kejagung mencapai Rp 150 miliar. Namun sumber KONTAN menyebutkan, total kredit macet BTN akibat kasus ini lebih dari Rp 150 miliar.

Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi  ini. Kini, Kejagung terus melakukan penyidikan secara mendalam terhadap para tersangka dengan melakukan koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kasus ini diduga merugikan negara hampir Rp50 miliar dengan tiga tersangka dari internal Bank yang telah ditetapkan antara lain SW sebagai Kepala Divisi Asset Management yang juga ketua DPP Serikat Pekerja BTN,l, SB (AMD yang juga head area II Bank BTN) dan AM (Kepala Unit Komersial Landing Bank BTN cabang Sidoarjo).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×