Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - DENPASAR. Perlambatan ekonomi global diproyeksi semakin dalam di tahun depan. Merespon itu, berbagai negara maju maupun berkembang melonggarkan kebijakan moneternya.
Negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa, misalnya, menurunkan kebijakan suku bunga acuannya pada September ini. Diikuti oleh negara berkembang seperti India, Thailand, Filipina, dan Indonesia.
Baca Juga: Analis: Ancaman demo susulan bisa bikin indeks keok pada transaksi Senin (30/9)
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, pelaku pasar memperkirakan suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate (FFR) akan kembali turun pada akhir 2019 dan 2020. Ini sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi negeri Paman Sam tersebut, serta tekanan inflasi yang rendah.
Oleh karena itu, Onny menyebut, potensi aliran modal asing ke Indonesia tetap besar.
“Dengan kondisi saat ini, di mana economic policy uncertainty di AS juga tinggi, aliran modal asing akan masuk ke emerging markets. Meski dengan volatilitas yang sangat tinggi,” tutur Onny dalam acara Pelatihan Wartawan Bank Indonesia, Jumat (27/9).
Apalagi, Onny mengakui, Indonesia masih memiliki tantangan defisit neraca transaksi berjalan (CAD) yang membuat arus modal asing rentan keluar. Hingga akhir tahun, BI memproyeksi CAD berada pada rentang 2,5%-3% dari PDB.
Baca Juga: Masih dibayangi aksi unjuk rasa, berikut prediksi pergerakan rupiah pekan depan
Meski memiliki faktor negatif CAD, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memandang, kepercayaan investor asing tetap besar pada Indonesia.
“Sebab, respons kebijakan ekonomi Indonesia selama ini dipandang cukup positif, dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain yang salah mengambil kebijakan seperti Argentina atau Turki,” kata Andry, Jumat (27/9).
Di samping itu, pelonggaran kebijakan suku bunga AS membuat yield obligasi tenor 10 tahun (US Treasury) ikut turun hingga level 1,5%. Sementara, yield obligasi negara Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di antara emerging markets.
Yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun mencapai 7,29% per 26 Agustus lalu. Sementara real yield sebesar 3,97%.
“Dengan asumsi FFR yang flat di tahun depan, maka potensi inflow ke Indonesia setidaknya masih akan sekuat tahun ini. Real yield kita masih sangat menarik dan secara fundamental, emerging market dengan pertumbuhan resilien dan rating baik adalah Indonesia,” tuturnya.
Baca Juga: INDEF: Indonesia belum resesi, tapi bukan tidak mungkin mengalaminya
Adapun, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menyebut, aliran modal asing yang masuk (capital inflow) mencapai Rp 139,5 triliun per 26 September 2019.
“Inflow ke pasar SBN (surat berharga negara) sebesar Rp 135,05 triliun, sedangkan ke pasar saham sebesar Rp 4,43 triliun,” ujar Nanang kepada Kontan.co.id, Sabtu (28/9).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News