kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.305   -5,00   -0,03%
  • IDX 6.832   -37,03   -0,54%
  • KOMPAS100 989   -6,89   -0,69%
  • LQ45 760   -4,16   -0,54%
  • ISSI 222   -0,69   -0,31%
  • IDX30 392   -3,26   -0,83%
  • IDXHIDIV20 456   -5,40   -1,17%
  • IDX80 111   -0,56   -0,51%
  • IDXV30 113   -1,23   -1,08%
  • IDXQ30 127   -0,89   -0,69%

Kawasan Hutan Disebut Hilang 30 Juta Ha, Ini Usulan untuk Revisi UU Kehutanan


Rabu, 25 Juni 2025 / 17:11 WIB
Kawasan Hutan Disebut Hilang 30 Juta Ha, Ini Usulan untuk Revisi UU Kehutanan
ILUSTRASI. Penyerahan dokumen Policy Brief dari FDKI kepada anggota Panja RUU Kehutanan Komisi IV DPR I, Darori Wonodipuro, Selasa (24/6/2025)


Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) bersama Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) menyerukan perlunya perubahan paradigma tata kelola kehutanan. Pengelolaan hutan saat ini, disebut berorientasi pada produksi yang terus mengikis kawasan hutan. 

Usulan perubahan paradigma ini dirangkum dalam Policy Brief bertajuk “Memperkuat Keadilan Ekologis dan Menata Ulang Relasi Kuasa atas Hutan” kepada Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan di Komisi IV DPR RI.

Koordinator FDKI Muhamad Burhanudin, Kehati, dan bersama perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ICEL, Forest Watch Indonesia, Sawit Watch, Sajogjo Institute, Indonesia Parliament Watch, dan HUMA menyerahkan Policy Brief tersebut kepada Panitia Kerja (Panja) RUU Kehutanan di Komisi IV DPR RI pada Selasa (24/6). 

Dokumen yang merupakan rangkuman masukan publik mengenai aspirasi pentingnya tata kelola hutan yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan tersebut diterima oleh Anggota Komisi IV DPR Darori Wonodipuro di ruang Komisi IV DPR. 

Koordinator FDKI Muhamad Burhanudin menjelaskan, paradigma pengelolaan hutan Indonesia selama ini sangat berorientasi pada produksi, bukan perlindungan ekologis. 

"Substansi UU 41/1999, apalagi setelah sejumlah pasal diubah sebagian melalui UU Cipta Kerja, semakin condong mendukung kepentingan investasi daripada menjaga fungsi ekologi hutan,” ujar Burhanudin yang juga Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI dalam rilis resminya.

Dalam kajian dia, disebutkan, Indonesia kehilangan lebih dari 30 juta hektare (ha) kawasan hutan dalam empat dekade terakhir. Dari sekitar 125 juta Ha kawasan hutan yang ditetapkan sejak 1980-an, kini hanya sekitar 87 juta Ha yang masih memiliki tutupan hutan primer dan sekunder. Bahkan hutan primer tinggal tersisa kurang dari 47 juta Ha.

Sebagian besar deforestasi terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit, industri pulp and paper, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur.

"Lebih dari separuh kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk fungsi produksi, bukan perlindungan ekologis," ujar Burhanudin. 

Bahkan kawasan konservasi dan lindung pun menghadapi tekanan eksploitasi karena lemahnya penegakan hukum dan orientasi kebijakan yang berbasis pertambangan dan perkebunan monokultur. 

Selain mendesak adanya perubahan paradigma tata kelola kehutanan, lembaga negara ini juga menawarkan serangkaian rekomendasi konkret untuk revisi UU Kehutanan. Antara lain, reorentasi dalam pengaturan status hutan, yaitu dari hutan adat sebagai bagian dari hutan negara, menjadi hutan adat sebagai status tersendiri sebagaimana diatur dalam putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012MK.

“Hal ini sangat penting, karena selama ini hutan adat dimasukkan ke dalam hutan negara, sehingga menjadi akar bagi banyaknya kriminalisasi dan penyingkiran terhadap masyarakat adat,” kata Ayut Enggeliah dari Sawit Watch. 

Usulan lainnya dalam Policy Brief ini adalah inventarisasi hutan yang partisipatif, transparan, berbasis hak, dan berbasis sains; pengukuhan kawasan hutan yang adil dan partisipatif, serta memastikan batas minimal kawasan hutan tetap terjaga untuk keberlanjutan ekologi (minimal 30% dari daratan).

Selain itu diusulkan penguatan perlindungan hak masyarakat hukum adat melalui perubahan mendasar pada Pasal 67; transparansi penuh atas data dan informasi kehutanan yang dapat diakses oleh publik; reformasi mekanisme perizinan untuk mencegah korupsi dan kolusi; perluasan tujuan rehabilitasi dan reklamasi hutan dengan mengedepankan fungsi sosial-ekologis; revitalisasi pengawasan, termasuk perlindungan bagi pelapor pelanggaran kehutanan.

Burhanudin menegaskan bahwa perubahan ini bukan sekadar kebutuhan nasional, tetapi juga merupakan bagian dari tanggung jawab Indonesia secara global. Tanpa perlindungan hutan yang serius, janji Indonesia dalam forum-forum global seperti Konvensi Perubahan Iklim dan target NDC akan menjadi ilusi belaka.

Status hutan adat

Anggota Komisi IV DPR Darori menyambut baik masukan dari Yayasan KEHATI dan FDKI ini. Komisi IV DPR terbuka dengan masukan-masukan masyarakat terkait UU Kehutanan. “Proses penyusunan RUU Kehutaan baru ini masih Panjang. Masih ada waktu dari masyarakat sipil untuk memberi masukan,” ujar dia. 

Terkait substansi masukan-maskan Yayasan KEHATI dan FDKI, Darori menyatakan sebagian besar sudah sejalan dengan usulan-usulan yang dia sampaikan di Komisi IV DPR. 

“Misalnya terkait agar hutan adat dikeluarkan dari status hutan negara, saya sangat setuju. Semestinya UU mengatur itu. Ini sering saya sampaikan, tidak hanya di hutan negara, tapi juga di hutan konsesi. Kalau pemilik perkebunan di dalamnya ada masyarakat adat, ya keluarkan juga (status hutannya),” ujar dia. 

Dia juga menyoroti perlunya larangan dalam UU Kehutanan terkait pemanfaatan dan perizinan hutan untuk tujuan di luar kehutanan di hutan lindung, seperti pertambangan dan perkebunan. “Pasal 38 (tentang izin kehutanan di hutan lindung) yang telah diubah dan ditambah di UU CK itu harus direvisi juga. Itu jelas telah merusak hutan lindung,” tandas Darori. 

Selanjutnya: Allianz Sambut Positif Co-Payment, Dinilai Efektif Tekan Repricing Premi Asuransi

Menarik Dibaca: Model Desain Dinding Galeri Estetik untuk Rumah Minimalis di Tahun 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×