Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menyederhanakan Undang-Undang (UU) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU Pemerintah Daerah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian dengan skema Omnibus Law Perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan langkah pemerintah memasukkan pajak daerah ke dalam Omnibus Law perpajakan sudah tepat. Sebab selama ini menjadi kendala investor untuk masuk ke dalam negeri.
Baca Juga: Sertifikasi halal UMKM, Kemenkeu masih sinkronisasi dengan omnibus law
Pratowo menilai masalahnya UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah menggunakan skema tarif maksimal. Sehingga membuat diskresi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif yang berpotensi membebani pengusaha dan masyarakat.
“Sehingga harapannya tidak ada hambatan lagi, akan diselaraskan pajak daerah dengan kebijakan pemerintah pusat. Jad bisa harmonis,” kata Prastowo kepada Kontan.co.id, Senin (25/11).
Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menambahkan saat ini pada dasarnya tarif pajak daerah baik untuk pajak di tingkat provinsi (5 jenis) dan di tingkat kab/kota (11 jenis) sudah diatur batas maksimalnya dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Baca Juga: Ini poin-poin dalam omnibus law perpajakan
Jadi daerah memiliki kebebasan menetapkan tarif selama tidak melebihi batasan yang diatur melalui UU PDRD tersebut. Dalam Omnibus Law Perpajakan pun akan kembali mengatur tarif maksimal, namun untuk besarannya masih dibahas.
Darussalam menilai seumpama batasan tarif maksimal tersebut akan diubah menjadi lebih rendah, dugaan Darussalam tidak akan terlalu banyak resistensi dari daerah.
“Mayoritas daerah juga belum bisa melakukan pemungutan pajak secara optimal dan anggarannya lebih banyak bersumber dari dana transfer pusat ke daerah,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (25/11).