Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mulai tahun depan, pemerintah akan mengenakan pajak atas fasilitas dan tunjangan non-uang atau natura. Kebijakan ini akan menyasar pada masyarakat yang mempunyai penghasilan tinggi, umumnya seperti direksi maupun pemimpin perusahaan.
Adapun kebijakan pajak atas natura ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Kendati demikian, pemerintah belum memerinci fasilitas barang yang akan dikenakan pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan kebijakan pajak atas natura yang merupakan obyek pajak penghasilan telah melalui kajian pemerintah.
Neilmaldrin menegaskan, pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan untuk natura akan ditargetkan khususnya kepada karyawan dengan posisi jabatan tinggi yang mendapat fasilitas natura dari perusahaan atau pemberi kerja. Sehingga, pengenaannya akan terbatas.
Baca Juga: Pengamat: Tak ada keuntungan bagi perusahaan dan pegawai atas pengenaan pajak natura
“PPh atas natura tidak difokuskan untuk penerimaan negara namun lebih kepada keadilan bagi masyarakat,” kata Neilmaldrin kepada Kontan.co.id, Senin (22/11).
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah saat ini tengah menyusun ambang batas tertentu dalam pengenaan pajak natura.
Sri Mulyani hanya memberikan kisi-kisi bahwa pemerintah akan memajaki fasilitas barang yang tergolong mewah. Tidak termasuk barang-barang seperti laptop dan handphone.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kemungkinan besar pajak natura akan dikenakan kepada wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) yang dalam UU HPP dibandrol tarif 25%, 30%, dan 35%. Tentu dengan catatan, karyawan tersebut menerima fasilitas dari perusahaan.
“Kebijakan ini akan menyasar kepada mereka yang tarif PPh OP-nya jauh lebih tinggi dibandingkan tarif PPh Badan,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (22/11).
Baca Juga: Ponsel dan laptop dari kantor dikecualikan dalam pajak atas fasilitas karyawan
Merujuk UU HPP, tarif 25% dikenakan atas penghasilan kena pajak sebesar lebih dari Rp 250 juta-Rp 500 juta setahun atau sekitar Rp 20,83 juta-Rp 41,66 juta per bulan.
Kemudian, tarif 30% yakni untuk WP dengan penghasilan kena pajak sebesar lebih dari Rp 500 juta-Rp 5 miliar per tahun. Ini setara dengan penghasilan kena pajak Rp 41,66 juta-Rp 416,6 juta per bulan.
Selanjutnya, tarif 35% diberikan untuk wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan kena pajak per tahun lebih dari Rp 5 miliar, atau setara Rp 416,6 juta per bulannya.
Lebih lanjut, Fajry mengatakan pemerintah dapat merujuk negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan pajak natura seperti Australia, Jepang, Filipina, Kamboja, dan Kamboja.
Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji setuju dengan kebijakan pajak natura. Sebab, sepemantauan Bawono kerap dijumpai karyawan dengan jabatan atau posisi tertentu, menerima benefit tidak hanya berupa gaji, tapi bisa juga berupa fasilitas seperti rumah, atau kendaraan.
Menurutnya, fenomena tersebut berlangsung saat ini, dan menimbulkan ketidakadilan, karena natura tidak diperhitungkan dalam PPh. Apabila natura tidak dipajaki, Bawono khawatir akan semakin banyak celah untuk perusahaan memberikan fasilitas kepada para karyawan dengan jabatan tinggi.
Baca Juga: Menkeu: Fasilitas kantor kena pajak untuk level atas, bukan Hp atau laptop pegawai
Apalagi, tahun depan lapisan tarif PPh OP tertinggi ditingkatkan dari saat ini 30% menjadi 35%. Bawono mengindikasi dalam rangka menghindari tarif jumbo itu, akan mendorong adanya tax planning dengan cara benefit yang diterima akan bersifat natura untuk menghindari pajak.
“Hal yg perlu juga dicermati ialah bahwa pengenaan frige benefit tersebut juga mengantisipasi adanya skema pemberian tambahan kemampuan ekonomis berupa fasilitas atau produk yang diberikan kepada influencer atas jasa endorsement,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (22/11).
Namun demikian, Bawono mengatakan kebijakan pajak natura lebih berorientasi pada keadilan dan bukan penerimaan. Pasalnya, melalui UU HPP, atas natura tersebut menjadi objek pajak bagi pihak yg menerima. Sedangkan, dari sisi pemberi natura/perusahaan atas natura tersebut bisa menjadi biaya pengurang penghasilan.
“Pajak natura sudah banyak diterapkan di negara lain juga dan sesuatu yang lumrah. Agar terdapat perlakuan setara antara tambahan kemampuan ekonomis yang berupa gaji/upah dengan yg berupa natura,” ujarnya.
Kata Bawono di berbagai negara, skema pengenaan pajak natura berbeda-beda. Misalnya dibedakan atas jenisnya, nilai, atau berdasarkan persentase nilai tertentu.
Selanjutnya: Siap-siap, fasilitas untuk para bos perusahaan akan dikenakan pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News