Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai realisasi investasi di tahun depan tergantung pada penerapan omnibus law dan perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menjelaskan, secara umum, Indonesia bisa menarik industri manufaktur apa pun kalau biaya investasi, biaya produksi dan biaya rantai pasok (supply chain) manufaktur di Indonesia menjadi lebih rendah.
Baca Juga: Tahun ini, industri alas kaki bakal lebih banyak investasi untuk relokasi
"Atau setidaknya cukup bersaing dengan negara-negara pesaing. Namun investasi apa yang akan masuk lagi-lagi tergantung pada sejauh mana iklim usaha berubah pasca omnibus law dan perubahan Daftar Negatif Investasi (DNI)," jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (30/12).
Shinta menyatakan adanya omnibus law dan perubahan DNI, investor akan memperhitungkan secara rinci dan membandingkan dengan biaya serupa di negara pesaing.
Shinta mengungkapkan akan banyak kendala yang akan dihadapi industri dalam negeri. Kendala terbesarnya adalah trade diversion dan relokasi atau investment diversion di sektor manufaktur global akibat perang dagang sudah mereda.
Shinta melihat adanya penurunan nilai mata uang Yuan di 2019 dan upaya penyelesaian trade war tahap satu yang akan mengembalikan sebagian tarif perdagangan AS-China ke normal.
Baca Juga: Selain omnibus law, ini sederet kebijakan ekonomi pemerintah yang dinanti tahun ini
Hal ini tentu menyebabkan China harus kembali diperhitungkan sebagai pesaing tujuan investasi manufaktur global. "Basis industri Indonesia relatif sama dengan China. Adapun punya kelebihan yakni produksinya jauh lebih efisien dibanding Indonesia saat ini," ungkapnya.
Sementara di level nasional, pelaku usaha dan investor nasional terlihat belum akan bergerak ke sektor-sektor manufaktur lain kalau iklim usaha di sektor tersebut belum dianggap kondusif atau financially viable untuk diinvestasikan.
Baca Juga: Percepatan digitalisasi Noozle, Pertamina siap beri insentif Rp 5 per transaksi
Menurut Shinta pasar domestik sebagai pendorong utama pertumbuhannya cenderung stagnan dan pasar global belum pulih.
Akibatnya investor hanya akan berinvestasi kalau perhitungan biaya-biaya tersebut sudah cukup efisien dan perhitungan return investasinya meyakinkan meskipun kondisi pasar lesu. Jadi Shinta belum bisa memprediksi berapa banyak investasi yang akan masuk ke dalam negeri. Katanya harus melihat sejauh mana dampak omnibus law dan DNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News