Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
Hal ini tentu menyebabkan China harus kembali diperhitungkan sebagai pesaing tujuan investasi manufaktur global. "Basis industri Indonesia relatif sama dengan China. Adapun punya kelebihan yakni produksinya jauh lebih efisien dibanding Indonesia saat ini," ungkapnya.
Sementara di level nasional, pelaku usaha dan investor nasional terlihat belum akan bergerak ke sektor-sektor manufaktur lain kalau iklim usaha di sektor tersebut belum dianggap kondusif atau financially viable untuk diinvestasikan.
Baca Juga: Percepatan digitalisasi Noozle, Pertamina siap beri insentif Rp 5 per transaksi
Menurut Shinta pasar domestik sebagai pendorong utama pertumbuhannya cenderung stagnan dan pasar global belum pulih.
Akibatnya investor hanya akan berinvestasi kalau perhitungan biaya-biaya tersebut sudah cukup efisien dan perhitungan return investasinya meyakinkan meskipun kondisi pasar lesu. Jadi Shinta belum bisa memprediksi berapa banyak investasi yang akan masuk ke dalam negeri. Katanya harus melihat sejauh mana dampak omnibus law dan DNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News