Sumber: KONTAN |
JAKARTA. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat membantah pungutan sebesar US$ 50 per TKI yang dilakukan oleh BNP2TKI. Menurutnya, pungutan tersebut bukan dikutip BNP2TKI seperti yang diutarakan Deplu. Apalagi, kata Jumhur , Deplu memakai alasan itu untuk menolak pemutihan TKI ilegal.
"Itu keliru sekali, biaya tersebut dibebankan bagi agensi yang mau merekrut TKI yang baru," kata Jumhur.
Biaya tersebut digunakan untuk memenuhi hak TKI seseuai peraturan di Indonesia, seperti asuransi, pemeriksaan kesehatan, perjanjian kerja. Besaran asuransi diserahkan sepenuhnya kepada agen TKI di negara tujuan. "Mereka mau dan setuju untuk membayar semua itu," katanya.
Sementara itu, pihak Deplu yang diwakili Jurubicaranya, Teuku Faizasyah menjelaskan, penjelasan pembebanan biaya sebesar US$ 50 tersebut tidak dijelaskan BNP2TKI saat rapat interen terakhir dengan Depnakertrans dan Deplu."Kami belum puas dengan penjelasan BNP2TKI," kata Teuku Faizasyah.
Selain masalah pembebanan biaya bagi TKI, Faiza juga menginginkan adanya perjanjian kerjasama antar dua negara di bidang ketenagakerjaaan. "MoU bisa menjadi kerangka perlindungan hukum bagi TKI," kata Faiza.
Kepastian hukum mutlak diberikan karena bisa menjamin keamanan dan juga hak-hak TKI di negara tersebut. Apalagi banyak TKI yang sudah bekerja disana, jauh sebelum Indonesia membuka keran tenaga kerja ke negeri Yordania dan Syiria. Faiza berharap ada pertemuan kembali dengan BNP2TKI dan Depnakertrans untuk membicarakan masalah pemutihan tersebut. Sementara ini KBRI di Syiria sudah mendaftar 5000 TKI.
Terkait dengan MoU, Deplu berupaya untuk membujuk Syiria melakukan perjanjian saat lawatannya ke Indonesia pada Januari tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News