kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.416.000   13.000   0,54%
  • USD/IDR 16.716   -9,00   -0,05%
  • IDX 8.701   43,74   0,51%
  • KOMPAS100 1.192   9,86   0,83%
  • LQ45 857   8,90   1,05%
  • ISSI 313   3,67   1,19%
  • IDX30 441   3,08   0,70%
  • IDXHIDIV20 510   2,90   0,57%
  • IDX80 134   1,32   1,00%
  • IDXV30 140   0,58   0,42%
  • IDXQ30 140   0,80   0,58%

Jika Kesepakatan Tarif Resiprokal RI–AS Gagal Maka Neraca Dagang dan Ekonomi Tertekan


Rabu, 10 Desember 2025 / 15:59 WIB
Jika Kesepakatan Tarif Resiprokal RI–AS Gagal Maka Neraca Dagang dan Ekonomi Tertekan
ILUSTRASI. Kapal tunda bersandar di terminal penumpang dengan latar belakang deretan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (17/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada bulan September mencapai 20,60 miliar dolar Amerika, atau meningkat 47,64 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Isu batalnya kesepakatan tarif resiprokal Indonesia AS dinilai dapat berdampak serius pada neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Ini karena tarif Indonesia berpotensi kembali naik dari 19% menjadi 32%. Meskipun pemerintah telah membantahnya.

Perlu diketahui, isu batalnya kesepakatan mencuat setelah laporan yang menyebutkan Perjanjian Dagang AS–Indonesia yang dicapai pada Juli 2025 berisiko gagal. Indonesia disebut dianggap mengingkari beberapa komitmen yang telah disepakati sebagai bagian dari kerja sama dagang tersebut.

"Mereka mengingkari apa yang telah kita sepakati pada bulan Juli," ujar seorang pejabat AS pada Selasa (9/12/2025), seperti dilansir Reuters. Namun pejabat tersebut tidak merinci komitmen apa yang dinilai telah dilanggar Indonesia.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menegaskan risiko terbesar muncul jika pembatalan tersebut hanya menimpa Indonesia, sementara negara pesaing di kawasan ASEAN tetap mendapatkan fasilitas tarif preferensial atau penurunan tarif dari AS.

Baca Juga: Sistem Pengupahan Dinilai Gagal, Kemenaker Tak Mampu Jembatani Buruh-Pengusaha

Myrdal menekankan posisi Indonesia perlu dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, Malaysia yang menjadi kompetitor utama di sektor ekspor manufaktur. Menurut dia jika nasibnya sama seperti Indonesia, hal itu justru menguntungkan.

Namun, jika pembatalan hanya terjadi pada Indonesia, dampaknya berpotensi serius. Dalam hitungannya, neraca dagang Indonesia berpotensi defisit sebesar US$ 1 miliar.

“Kalau yang kena itu cuma Indonesia saja yang batal, nah itu bisa jadi ada potensi sekitar US$ 1 miliar trade deficit kita itu berkurang. Kalau tarif dijadikan 32%, ada kemungkinan barang-barang kita jadi tidak kompetitif,” terang Myrdal kepada Kontan, Rabu (10/12/2025).

Ia menilai estimasi tersebut merupakan skenario terburuk yang perlu diantisipasi pemerintah.

Dampaknya Bisa Tahan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Selain menggerus neraca perdagangan, kenaikan tarif terhadap produk Indonesia di pasar Amerika Serikat dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor padat karya. 

“Kalau hanya terjadi di Indonesia saja, dampaknya untuk pertumbuhan ekonomi tidak besar. Tapi misalkan di sektor tekstil atau sepatu, itu bisa ada penurunan GDP/PDB (Gross Domestik Product/Produk Domestik Bruto) sekitar 0,3% kalau produk kita tidak kompetitif lagi,” jelasnya.

Namun, kondisi akan berbeda jika perubahan tarif terjadi serentak bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Menurut Myrdal, dampaknya terhadap ekonomi Indonesia akan jauh lebih terbatas. 

“Kalau ini terjadi secara global, paling pertumbuhan ekonomi kita turunnya tidak signifikan. Bisa jadi barang-barang kita malah lebih kompetitif dibandingkan Malaysia, Thailand, atau Vietnam,” ujarnya.

Ia memberi contoh beberapa negara seperti Vietnam selama ini menikmati pemotongan tarif signifikan, dari sekitar 40% menjadi 19%. Jika fasilitas tersebut dicabut, posisi Indonesia relatif lebih diuntungkan. 

“Yang untung sebenarnya Indonesia, karena kita kan cuma 32%,” tambahnya.

Myrdal menekankan pentingnya kewaspadaan pemerintah dalam merespons dinamika negosiasi dagang dengan AS. Ketidakpastian terkait tarif resiprokal berpotensi mengganggu daya saing ekspor Indonesia di sektor kunci seperti tekstil dan alas kaki, yang sensitif terhadap perubahan biaya.

Dengan potensi risiko jangka pendek hingga defisit US$ 1 miliar pada neraca perdagangan dan kemungkinan tekanan ke pertumbuhan ekonomi, pemerintah dinilai perlu mengambil langkah diplomasi dagang yang lebih agresif serta memperkuat daya saing industri domestik untuk menghadapi perubahan lanskap perdagangan global.

Baca Juga: Duh! Penurunan Kepatuhan Pajak Terjadi di Semua Segmen Wajib Pajak

Selanjutnya: Melemah, Rupiah dan Mata Uang Asia Bergerak Sempit Jelang FOMC

Menarik Dibaca: Apakah Yogurt Bagus untuk Diet Turun Berat Badan? Ini Jawabannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×