Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal era pelonggaran moneter sudah berakhir. Saat ini stance kebijakan moneter bank sentral fokus untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan. Itu menjadi dasar ketika BI menetapkan suku bunga acuannya, 7 day reverse repo rate bertahan di level 4,75%.
BI sudah tidak lagi menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus kebijakannya, istilahnya stance moneter BI saat ini adalah stability over growth. Keputusan ini jelas akan semakin memberatkan langkah pemerintah, dalam menjaga target ekspansif pada tahun 2017.
Seperti yang dikatakan ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih, target pertumbuhan ekonomi yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017 sebesar 5,1% tidak akan mudah tercapai. “Mau tidak mau pemerintah harus mengandalkan kebijakan fiskal agar pertumbuhan tetap terjaga,” katanya, Jumat (16/12).
Salah satu yang bisa dilakukan adalah mempercepat realisasi belanja modal, terutama belanja infrastruktur.Tetapi hal itu tidak akan mulus, sebab ancaman shortfall penerimaan masih akan terjadi, sehingga defisit APBN terancam kembali melebar.
Secara otomatis, kondisi itu akan membuat pemerintah melakukan penambahan penerbitan surat berharga negara, atau memperbesar pembiayaan. Namun, dengan ancaman kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tahun depan hal itu tentu memiliki risiko yang tidak ringan.
Lana menyayangkan, pemerintah tidak mengambil seluruh penawaran atas global bond yang diterbitkan pemerintah dalam rangka pre funding pekan lalu. Padahal, saat itu penerbitan yang dilakukan terbilang masih murah.
Saat ini, pasca statemen BI mengenai arah kebijakannya, market sudah mulai mengambil posisi. Dan peluang untuk mendapatkan pembiayaan murah sepertinya tidak akan diperoleh lagi. Bahkan, sebelum The Fed menaikan suku bunga, sentimen negativ sudah muncul di benak pelaku pasar.
Atas dasar itu, Lana menilai kebijakan BI yang mengubah arah kebijkaannya saat ini dinilai terburu-buru. Bahkan, menurutnya BI sebetulnya masih bisa menurunkan BI rate pada bulan ini sebesar 25 basis points (BPS), sebelum presiden terpilih AS benar-benar merealisasikan kebijakannya.
Sementara itu, ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Latif Adam mengatakan kenaikan FFR sudah masuk dalam perhitungan risiko pelaku pasar jauh sebelum diputuskan. Yang belum, adalah rencana kebijakan Donald trump, terkait rencana ekspansif dengan ekonomi yang lebih ekslusif.
Jadi, kalaupun BI menurunkan suku bunganya tidak akan menimbulkan gejolak di apsar keuangan. Namun demikian, Ia menilai BI sudah mulai berhati-hati dan menangkap signal bahwa ketidakpastian ekonomi global semakin kuat, tidak hanya masalah AS saja, melainkan perkembangan di China.
Selain itu, risiko inflasi tahun 2017 yang akan meningkat juga sudah masuk ke dalam radar BI. Hal itu dipacu oleh risiko meningkatnya inflasi di sisi administer price atau harga yang diatur pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News