kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Jadi Polemik, Penerapan Tarif PPN 12% Perlu Ditunda?


Selasa, 26 Maret 2024 / 18:55 WIB
Jadi Polemik, Penerapan Tarif PPN 12% Perlu Ditunda?
ILUSTRASI. Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan masih menjadi polemik.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan masih menjadi polemik. Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memandang bahwa penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada 2025 tidak perlu ditunda.

Menurutnya, kenaikan tarif PPN di tahun 2025 merupakan perwujudan dari keberlanjutan kebijakan Jokowi. Apalagi, kenaikan ini merupakan hasil dari kesepakatan bersama antara pemerintahan Jokowi dan koalisi pendukung pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).

"Jadi kalau kemudian pemerintahan Prabowo-Gibran membatalkan atau menunda kenaikan tarif PPN maka bertolak belakang dengan narasi keberlanjutan yang selama ini mereka dengungkan saat Pilpres lalu," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (26/3).

Baca Juga: Pemerintah Diminta Tunda Kenaikan Tarif PPN 12% pada 2025, Ini Alasannya

Fajry menambahkan, pemerintah baru bisa belajar dari keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam menaikkan tarif PPN pada tahun 2022 lalu. Selain itu, Indonesia juga bisa belajar dari Singapura yang berhasil menaikkan tarif GST (goods and service tax) secara berturut-turut pada tahun 2023 dan 2024.

"Dengan pengelolaan yang baik, kenaikan tarif tidak memberikan masalah bagi ekonomi ataupun inflasi. Di sisi lain ada tambahan penerimaan yang cukup signifikan," jelasnya.

Fajry melihat kondisi perekonomian pada tahun 2025 juga akan jauh lebih baik dibandingkan tahun pemulihan ekonomi 2022 lalu. 

Kemudian, jika kebijakan tersebut tetap tidak dijalankan, maka pemerintahan baru perlu sumber penerimaan baru mengingat harus memenuhi janji politiknya.

"Otak-atik barang yang kena PPN dapat menjadi opsi. Atau fasilitas PPh yang selama ini tidak efektif atau tidak tepat sasaran dapat dievaluasi. Akan tetapi, risiko politiknya kurang lebih sama dengan kenaikan tarif PPN," jelas Fajry.

Seperti yang diketahui, tarif PPN 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pasal 7 Ayat 1 UU tersebut mengatur bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025 mendatang, setelah kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×