Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat. Seperti yang diketahui, tarif PPN 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pasal 7 Ayat 1 UU tersebut mengatur bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025 mendatang, setelah kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menyarankan pemerintah untuk menunda terlebih dahulu rencana kenaikan tarif PPN 12% di 2025.
Hal ini dikarenakan kenaikan tarif PPN tersebut akan berpengaruh kepada daya beli masyarakat, terutama beberapa barang yang saat ini dikenakan tarif PPN baik dari mulai barang konsumsi, barang industri hingga barang-barang lain seperti rumah, apartemen, mobil, hingga alat-alat elektronik.
Baca Juga: Soal Kenaikan Tarif PPN Jadi 12%, TKN: Bukan Kewenangan Prabowo-Gibran
"Jangan karena memaksakan untuk mendongkrak penerimaan, hak rakyat untuk segera punya rumah misalnya atau produk lainnya menjadi tertunda karena penerapan PPN yang terlalu besar ini," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (26/3).
Menurutnya, kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan sangat berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Memang, kenaikan tarif PPN akan menambah kantong penerimaan negara.
Namun, di sisi lain lonjakan harga barang dan jasa dapat menyebabkan kesulitan bagi masyarakat dengan pendapatan rendah karena terpaksa harus menekan konsumsi barang dan jasa penting.
"PPN bukan satu-satunya instrumen untuk mendongkrak penerimaan. Jadi, pemerintah bisa mengoptimalkan dari sumber-sumber lainnya," katanya.
Ariawan menyebut, pemerintah yang baru bisa memulai untuk menutup kebocoran anggaran negara dengan memulai dari menertibkan shadow economy atau underground economy yang selama ini masih terjadi di Indonesia.
Baca Juga: DJP: Penyesuaian Tarif PPN 12% Akan Pertimbangkan Faktor Politik dan Ekonomi RI
"Underground economy Indonesia mencapai Rp 536 triliun atau 22,1%. Ini kan angka yang fantastis untuk ditindaklanjuti pemerintah," terang Ariawan.
Ariawan memperkirakan bahwa ada sekitar Rp 80 triliun hingga Rp 100 triliun. Namun angka ini tidak signifikan jika dibandingkan pemerintah yang mampu melakukan pengamanan kebocoran anggaran dan penertiban underground economy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News