kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.169   31,00   0,19%
  • IDX 7.055   71,46   1,02%
  • KOMPAS100 1.056   15,44   1,48%
  • LQ45 830   13,30   1,63%
  • ISSI 213   1,17   0,55%
  • IDX30 424   7,51   1,80%
  • IDXHIDIV20 510   8,12   1,62%
  • IDX80 120   1,73   1,46%
  • IDXV30 125   0,86   0,70%
  • IDXQ30 141   2,17   1,56%

Ini Upaya yang Bisa Ditempuh Pemerintah untuk Genjot Penerimaan Pajak Ekonomi Digital


Minggu, 21 Juli 2024 / 19:26 WIB
Ini Upaya yang Bisa Ditempuh Pemerintah untuk Genjot Penerimaan Pajak Ekonomi Digital
ILUSTRASI. Penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp 25,88 triliun hingga 30 Juni 2024. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.


Reporter: Rashif Usman | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menghimpun penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp 25,88 triliun hingga 30 Juni 2024. Namun penerimaan pajak dari usaha ini dinilai masih tergolong rendah.

Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Supraman mengatakan ada dua opsi pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh Ditjen Pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari ekonomi digital. 

Kebijakan pertama, dari sisi marketplace, pemerintah perlu membuat peraturan yang mengharuskan pemilik marketplace untuk memungut PPN pemilik online shop.

"Ini memang pendekatan radikal," kata Raden kepada Kontan, Minggu (21/7).

Selama ini, marketplace sebatas pemberi layanan sistem, bukan penjual barang. Selain itu, bisa jadi pemilik online shop memang termasuk Pengusaha Kecil yang memiliki omzet di bawah Rp 4,8 miliar sehingga tidak ada kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Baca Juga: Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Belum Mencakup Semua Sektor

Namun dengan sistem sekarang, pemilik online shop selalu menghindari mengenakan PPN karena jika memungut PPN harga barang yang dijual menjadi lebih mahal.Akhirnya terjadi persaingan yang tidak sehat di marketplace, di mana sebagian memungut PPN sedangkan lainnya tidak.

Dari sisi harga sudah pasti yang memungut PPN akan lebih mahal dan yang tidak memungut PPN lebih murah.

"Nah, jika marketplace diwajibkan memungut PPN, maka semua online shop terpaksa memungut PPN, sehingga semua harga sudah termasuk PPN dan akan terjadi keadilan antara online shop," ucapnya.

Jika mengacu ke data yang dikeluarkan Gross Merchandise Values (GMV) bahwa transaksi 6 top marketplace di Indonesia tahun 2023 mencapai Rp 803 triliun. 

"Artinya hanya dari 6 marketplace, penerimaan PPN sudah Rp88 triliun," tuturnya.

Kebijakan kedua yaitu mengharuskan pemilik marketplace untuk mengirim data-data transaksi penjualan setiap online shop di aplikasinya. Pengiriman data dilakukan setiap bulan Januari untuk tahun sebelumnya.

Baca Juga: Kemenkeu Kantongi Rp 25,8 Triliun dari Pajak Ekonomi Digital hingga Akhir Juni 2024

"Data-data ini tentu akan dikelola oleh Ditjen Pajak untuk pengawasan Wajib Pajak. Terutama Wajib Pajak pemilik online shop yang tidak memungut PPN," jelasnya,

Data tersebut dapat langsung disandingkan dengan pelaporan SPT masing-masing NPWP.

"Atau yang lebih maju lagi, berdasarkan data dari marketplace, Ditjen Pajak menyampaikan omset ke Wajib Pajak untuk dilaporkan di SPT Tahunan," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×