Reporter: Petrus Dabu | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Nasib Satinah binti Jumadi Ahmad kini tinggal menghitung hari. TKI asal Ungaran, Semarang itu bisa saja akan dieksekusi mati oleh aparat hukum Arab Saudi pada 5 April 2014 nanti, karena telah dituduh membunuh majikannya, Nurah binti Muhammad Al Gharib pada Juni 2007 silam.
Tetapi masih ada peluang untuk selamatkan nyawanya dari para algojo hukum mati Arab Saudi. Syaratnya, Satinah harus membayar uang darah (diyat) sebesar sekitar Rp 21 miliar. Persoalannya Satinah tak punya uang sebanyak itu.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budie Utama Razak mengatakan, telah berupaya keras untuk menyelamatkan Satinah dari hukuman mati.
Pada tahun 2011, menurut Tatang, Satinah divonis mati Pengadilan Buraidah, Arab Saudi karena mengakui membunuh majikannya dan mengambil uang korban sebanyak SAR (Saudi Arabian Riyal) 37.970 atau sekitar Rp 119 juta.
Semula Satinah divonis hukuman mati mutlak (had ghillah), lalu turun menjadi hukuman mati qishas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran uang darah. Semula,rencana eksekusi hukuman mati Satinah dilakukan pada Agustus 211, tetapi kemudian ditundah lima kali yaitu Desember 2011, Desember 2012, Juni 2013, Februari 2014 dan 5 April 2014.
"Penurunan tuntutan hukuman mati serta penundaan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi hingga lima kali tersebut adalah upaya keras dari pemerintah untuk membebaskan Satina," ujar Tatang dalam siaran pers, Selasa (25/3).
Berbagai upaya, menurut Tatang dilakukan pemerintah Indonesia. Mulai darai penunjukan pengacara tetap, pendekatan ke ahli waris korban dan tokoh-tokoh berpengaruh di Arab Saudi, hingga upaya diplomatik seperti mengirimkan utusan resmi pemerintah Indoensia dan juga surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Raja Arab Saudi sebanyak dua kali yaitu pada Juli 2011 dan Februari 2014.
Pemerintah, lanjut Tatang, juga telah menggalang pengumupulan uang darah sebesar SAR 4 juta atau sekitar Rp 12 miliar. Uang tersebut menurutnya bersumber dari anggaran Kementerian Luar Negeri sebesar SAR 3 juta, sumbangan Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) sebanyak SAR 500.000 dan sumbangan dermawan Arab Saudi sebesar SAR 500.000.
Pemerintah juga telah memfasilitasi anak kandung Satinah yaitu Nur Afriana dan kakak kandung Satinah, Paeri Al-Feri untuk bertemu Satinah di Penjara Buraidah sebanyak tiga kali. Anak kandungnya ini juga telah menuliskan surat kepada ahli waris korban.
Kini upaya penggalangan dana untuk membayar uang darah masih terus dilakukan masyarakat Indonesia. Pendekatan kepada pihak ahli waris korban agar mereka menerima uang darah sebesar SAR 4 juta (Rp 12 miliar) terus dilakukan.
Kalau pun ahli waris bergeming, setidaknya kembali menunda batas waktu eksekusi hingga terkumpul uang darah sebanyak yang diminta ahli waris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News