Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia dikepung berbagai sentimen panas di awal tahun ini, yang dipicu kondisi global. Pemerintah sejauh ini tanggap dengan tantangan yang muncul.
Menurut tim Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, ada tiga ancaman ekonomi Indonesia dari global saat ini. Pertama, larinya kembali dollar AS dari pasar Indonesia baik saham maupun obligasi, lantaran ada data ekonomi AS terus mencatat angka positif.
Pulihnya ekonomi AS memicu kenaikan imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun dan sempat ke 2,8%-2,95%, sehingga memicu perkiraan bank sentral Federal Reserve akan menaikkan suku bunga lebih cepat. Alhasil, penarikan dana terjadi dan sempat membuat IHSG terjungkal 2% di awal pekan ini dan rupiah menembus Rp 13.800 per dollar AS, yang juga dipicu langkah investor asing mengambil untung (profit taking).
"Posisi investasi asing yang cukup tinggi di pasar saham dan pasar obligasi menjadikan saham dan obligasi Indonesia cukup rentan terhadap gejolak
global," tulis Dian Ayu Yustina, Ekonom Bank Danamon, pada rilisnya, Jumat (9/3).
Pelemahan rupiah juga mengikis selera investor pada lelang sukuk pemerintah di awal Maret ini. Tapi, Dian melihat, kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih prospektif, yang terlihat dari investor yang memberi valuasi positif terhadap obligasi. Hal ini juga diperkuat oleh keputusan inklusi obligasi Indonesia pada Bloomberg Global Aggregate Bond Index.
Nah, ancaman perang dagang menjadi tantangan kedua ekonomi Indonesia saat ini. Keputusan Presiden AS Donald Trump akan memberlakukan kenaikan tarif impor baja dan aluminium sebesar 25% dan 10%, menjadi sentimen negatif karena memicu retaliasi dari negara-negara mitra dagang AS.
Tantangan ekonomi Indonesia ketiga adalah harga energi global yang merangkak naik, baik batubara yang sudah merangkak di atas US$ 100 per ton, maupun harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh US$ 70 per barel.
Dengan maraknya ketidakpastian faktor ekonomi dan pasar keuangan global tahun ini, Dian Ayu memperkirakan, volatilitas rupiah tahun ini diperkirakan akan lebih tinggi. Dia juga melihat potensi Bank Indonesia (BI) memberlakukan kebijakan moneter ke arah bias ketat karena rupiah tertekan. Saat ini, BI masih menjaga stance kebijakan netral, dengan menahan bunga acuan di level 4,25%.
Ekonomi domestik menopang
Sejatinya, menurut Tim Ekonom Danamon, kondisi domestik Indonesia masih baik. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 lalu sebesar 5,07% yang ditopang investasi dan ekspor. Sedangkan impor didominasi impor mesin dan alat listrik, yang mengindikasikan perbaikan belanja modal perusahaan.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) juga cukup stabil dan mencatat surplus US$ 11,6 miliar di tahun lalu. NPI juga terlihat positif karena ditopang aliran dana penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) dan investasi portofolio.
Tapi, tak dapat dipungkiri, kondisi global juga akan berimbas tak hanya ke pasar uang tapi ekonomi riil. Kenaikan harga energi diperkirakan akan memicu inflasi tahun ini lebih tinggi.
Memang, pemerintah di awal tahun ini memutuskan tidak menaikkan harga, malah akan menambah anggaran subsidi. "Namun, tekanan inflasi diperkirakan tetap akan ada melalui imported price, akibat tingginya harga energi (non-subsidi) dan harga makanan," tulis Dian Ayu.
Terbuka peluang besar, pemerintah menaikkan anggaran subsidi saat pengajuan APBN perubahan.
Sementara itu, langkah pemerintah memberlakukan harga baru batubara domestik (DMO) untuk meringankan beban PLN diproyeksikan berdampak pada penurunan penerimaan pajak. "Sehingga defisit APBN berpotensi menjadi lebih besar dari yang awalnya 2,19% dari Produk Domestik Bruto (PDB)," tulis Dian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News