Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menganggarkan Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri dalam rangka merespon dampak Covid-19 terhadap dunia usaha. Dari angka tersebut stimulus perpajakan yang ditanggung pemerintah (DTP) mempunyai postur terbanyak yakni Rp 64,1 triliun.
Sayangnya, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum memastikan ke mana larinya anggaran tersebut. Berdasarkan draft Rapat Kerja (Raker) Tertutup antara Kemenkeu dan Komisi XI DPR RI yang dihimpun kontan.co.id, rencana pemerintah dari anggaran stimulus perpajakan itu, sebanyak Rp 25,4 triliun digunakan untuk insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Baca Juga: Kemenaker catat ada 587 pekerja migran Indonesia terpapar covid-19
Adapun, Stimulus PPN yang disusun menggunakan skema kebijakan PPN atas dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain, PPN ditunda, dan PPN dibebaskan. Nantinya, hanya ada lima sektor usaha yang dirancang akan menikmatinya antara lain pertanian, kehutanan, pertambangan mineral dan batubara (minerba), minyak dan gas alam (migas), dan energi terbarukan.
Sayangnya, sampai saat ini aturan stimulus tersebut belum juga terbit. Nantinya, Kemenkeu bakal mengatur stimulus PPN itu dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersendiri.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, jika kita amati, pola pemberian instrumen pajak untuk menangani Covid-19 mayoritas bertujuan untuk dua hal yakni relaksasi administrasi kewajiban pajak dan dalam rangka menjamin ketersediaan arus kas usaha.
“Pola di 135 negara di dunia per 6 Mei 2020, 70% instrumen pajak polanya untuk dua hal tersebut. Ini untuk mencegah PHK, ketersediaan dana untuk modal kerja dan operasional, serta mencegah supply shock (menjaga kontinuitas produksi barang/jasa),” Ujar Darrusalam kepada Kontan.co,id, Minggu (10/5).
Baca Juga: Kemenkeu catat pembayaran pajak via e-commerce mencapai Rp 270 miliar per 8 Mei 2020
Adapun instrumen yang digunakan juga bisa bermacam-macam, salah satunya melalui PPN (peringkat kedua setelah PPh). Dimana mekanismenya berupa restitusi dipercepat serta pembebasan sanksi. “Menariknya, jarang ada negara yg melakukan pembebasan dan pengurangan tarif PPN. Kecuali bagi sektor kesehatan atau aktivitas pendukungnya,” tambahnya.
Menurutnya, senada dengan pola global tersebut, ia justru menyarankan insentif PPN lebih untuk restitusi dipercepat saja dan bukan atas pembebasan (kecuali untuk sektor kesehatan). Restitusi yang dipercepat masih bisa diperluas dengan relaksasi persyaratan. Selain itu, penundaan juga masih dimungkinkan karena beberapa negara juga ikut melakukan hal serupa seperti di beberapa Gulf countries.
Sebagai dampak penerimaannya ia memastikan menilai sudah pasti tahun ini akan mengalami penurunan baik akibat pelemahan aktivitas ekonomi yang mengakibatkan penerimaan pajak melemah maupun meningkatnya belanja perpajakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News