Sumber: Kompas.com | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Jaksa penuntut umum (JPU) Ali Mukartono memberikan jawaban atas eksepsi terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang menyatakan tidak ada niat melakukan penistaan terhadap agama Islam.
Mukartono mengatakan, Pasal 156 huruf a KUHP yang didakwakan kepada Gubernur DKI Jakarta non-aktif itu tidak berkaitan dengan penafsiran Surat Al Maidah Ayat 51. Pernyataan Ali ditujukan untuk menanggapi nota keberatan (eksepsi) Ahok yang menyebut tidak berniat menafsirkan ayat tersebut.
"Materi dakwaan Pasal 156 Huruf A KUHP tidak terkait langsung dengan tafsir Al Maidah 51. Sebenarnya unsur bagian dari materi perkara yang dimaksud dengan unsur sengaja," ujar Ali dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12).
Ali mengatakan, untuk menilai ada tidaknya niat seseorang menodakan agama, tidak hanya dilihat dari niat dan pernyataan terdakwa saja seperti yang disampaikan Ahok dalam eksepsinya. Namun, harus dari rangkaian peristiwa yang saling berkaitan.
Peristiwa yang saling berkaitan itu yakni Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu sebagai gubernur. Namun, dalam sambutannya, Ahok mengaitkan Surat Al Maidah Ayat 51 dengan pelaksanaan Pilkada 2017.
"Pada saat itu pula terdakwa terdaftar sebagai calon gubernur dan mengetahui penyelengaraan Pilkada 2017 dan saat itu juga mengatakan kepada warga yang mayoritas beragama Islam jangan percaya sama orang dibohongi sama Al Maidah 51," kata dia.
JPU menilai, peryataan Ahok tidak dapat dipisahkan dengan mendudukan Surat Al Maidah Ayat 51 sebagai sarana untuk membodohi masyarakat. Unsur kesengajaan yang dimaksud JPU akan dibuktikan dalam tahap pembuktian.
JPU sebelumnya telah mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. JPU menilai Ahok telah menodakan agama serta menghina para ulama dan umat Islam.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (Nursita Sari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News