kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini risiko yang akan dihadapi Indonesia saat terjadi pengetatan moneter di AS


Selasa, 01 Juni 2021 / 19:12 WIB
Ini risiko yang akan dihadapi Indonesia saat terjadi pengetatan moneter di AS
ILUSTRASI. Kawasan perkantoran di Jakarta, Selasa (19/1). /pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/19/01/2021.


Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve diperkirakan akan meningkatkan suku bunga tahun depan. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjabarkan beberapa efek yang akan dirasakan oleh Indonesia saat adanya pengetatan moneter negara Paman Sam tersebut. 

Pertama, adanya risiko peningkatan yield SBN jika tapering ini lebih cepat dari perkiraan. Namun, Faisal melihat, sebenarnya ruang untuk peningkatan yield SBN masih ada karena asumsi APBN 2021, yield SBN tenor 10 tahun sebesar 7,29% atau masih di atas yield saat ini. 

“Sehingga, sebenarnya manajemen fiskal kita dalam hal pembiayaan saat ini masih cukup mumpuni untuk itu. Selain itu, lembaga pemeringkat dunia juga menilai Indonesia masih tergolong investment grade dengan mayoritas outlook stabil,” ujar Faisal kepada Kontan.co.id, Selasa (1/6).

Baca Juga: Menkeu: Reformasi struktural adalah syarat agar potensi ekonomi Indonesia optimal

Kedua, adanya risiko aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, hal ini bisa diminimalisir dengan mengurang potensi pelebaran current account deficit (CAD) dengan mulai meningkatkan substitusi impor. 

Tak hanya itu, Indonesia juga bisa meningkatkan proporsi investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) karena outflow yang terjadi lebih ke investasi portofolio yang sifatnya jangka pendek (hot money). 

“Jadi, dengan membuat investasi langsung lebih dominan di neraca transaksi finansial, maka risiko dari tapering ke Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bisa diminimalkan,” tambahnya. 

Faisal lalu mengingatkan, yang menjadi kekhawatiran sebenarnya adalah saat kenaikan suku bunga The Fed atau tapering terjadi, tetapi pemulihan ekonomi domestik masih belum optimal. 

Baca Juga: Kapan Bank Indonesia akan kerek suku bunga acuan? Ini kata gubernur BI

Pasalnya, peningkatan suku bunga The Fed ini menjadi salah satu faktor yang mendasari naiknya suku bunga acuan BI. Padahal, pemulihan ekonomi butuh suku bunga yang relatif rendah guna memicu kegiatan investasi.

Untuk itu, guna makin mengecilkan risiko secara keseluruhan, Indonesia harus cepat mengejar dan menggenjot pemulihan ekonomi. Pemerintah dan BI perlu menghadapi risiko dengan bahu membahu mempercepat proses pemulihan ekonomi dengan bauran kebijakan dan progres vaksinasi. 

Semakin cepat Indonesia pulih, semakin menarik juga Indonesia untuk menjadi tujuan investasi. Selain itu, dengan sendirinya penerimaan negara juga bisa meningkat sehingga kebutuhan pembiayaan fiskal berkurang. 

Baca Juga: LPEM FEB UI prediksi inflasi Mei 2021 bisa mencapai 0,3% mom

Kabar baiknya, bila mengikuti pernyataan The Fed, sekarang bank sentral AS masih akan cenderung dovish terkait kebijakannya sehingga kemungkinan BI juga masih akan menjaga suku bunga rendah di tahun ini. 

“Kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga di akhir tahun 2022 atau awal tahun 2023. Masih bisa berubah sesuai perkembangan kondisi dan statement The Fed di Juni ini. Biasanya di setiap akhir kuartal The Fed akan keluarkan proyeksi makronya. Jika berubah menjadi lebih optimis terkait ekonomi AS, maka bisa lebih cepat,” tandasnya. 

Selanjutnya: Pemerintah ajukan 2 skema pengampunan pajak, Kadin minta tarifnya sama-sama 10%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×