Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat
Berbeda dengan Trump, gaya pemerintahan Demokrat cenderung lebih formal dan mematuhi prinsip multilateral. Menurut Shinta, hal ini menciptakan kepastian relasi dagang dan investasi. Ini pun terlihat pada kepemimpinan Obama, dimana Indonesia bisa meningkatkan ekspor dan investasi, yang tidak pernah terjadi saat masa kepemimpinan Trump.
"Namun, di sisi negatifnya penekanan pada “fair trade” yang menyebabkan peningkatan kasus-kasus trade remedies yang dilakukan AS secara bilateral maupun multilateral terhadap Indonesia. Ini bisa mengancam bahkan mematikan ekspor unggulan nasional bila kita kalah," kata Shinta.
Lebih lanjut, Shinta mengatakan, bila nantinya yang menjadi Presiden AS berikutnya adalah Trump, maka usulan limited trade deal Indonesia-AS kemungkinan besar bisa lebih mudah dan lebih cepat direalisasikan karena sifat pemerintahnya lebih pragmatis.
Baca Juga: Emiten-emiten ini bisa ketiban untung dari perpanjangan fasilitas GSP
Sementara, bila Biden yang terpilih, maka limited trade deal mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama atau perlu ditransformasikan. Dia menilai, hal ini dikarenakan Biden memiliki agenda tersendiri terkait mulitlateralisme dan AS yang mungkin beralih menjadi lebih menyukai kesepakatan dagang yang patu dengan aturan WTO.
"Di luar itu, kami tidak memproyeksikan banyak perubahan karena semua tergantung pada daya tarik iklim usaha dan investasi Indonesia, khususnya karena konflik AS-China dan negara-negara cenderung terus dipertahankan oleh Biden karena kebutuhan ekonomi internalnya sendiri, khususnya untuk job creation," kata Shinta.
Dia juga menambahkan, sektor-sektor ekonomi nasional yang diuntungkan dari Amerika Serikat masih sama saja mengingat tidak ada perubahan yang signifikan berkaitan dengan komoditas ekspor unggulan maupun sektor investasi yang diminati AS di Indonesia baik bila dipimpin Trump ataupun Biden.
Selanjutnya: Perhitungan suara belum final, Trump: Kami sudah menang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News