Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga saat ini belum bisa dipastikan siapa yang akan terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), apakah Donald Trump atau kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden.
Meski masih menunggu hasil pemilihan, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, kedua kandidat itu memiliki pro kontra, dan masing-masing kandidat memiliki gaya yang berbeda serta efek kebijakan yang berbeda pula.
"Kami tidak bisa bilang bahwa pemerintahan Trump atau Biden, presiden dari Partai demokrat atau Republik lebih baik atau lebih buruk untuk Indonesia dan pelaku usaha Indonesia. Hanya saja gayanya berbeda dan efek kebijakannya juga berbeda," ujar Shinta kepada Kontan.co.id, Rabu (4/10).
Dia pun berpendapat, Indonesia yang perlu fleksibel dalam menyesuaikan diri, baik dari sisi daya tarik iklim usaha dan investasi di dalam negeri maupun dalam melakukan lobi. Dengan begitu, Indonesia masih tetap mendapatkan keuntungan dari kebijakan Presiden AS.
Baca Juga: Industri manufaktur intip peluang pasar ekspor dari fasilitas GSP Amerika Serikat
Shinta pun membandingkan kepemimpinan keduanya. Menurut Shinta, kepemimpinan Trump sangat berbeda dengan pemerintahan Demokrat. Trump lebih suka dengan kesepakatan bilateral, ini memungkinkan Indonesia melakukan lobi dan menciptakan kesepakatan perdagangan/investasi bilateral pula.
Menurutnya, kesepakatan bilateral tersebut hampir tidak mungkin bisa ada bila Presiden AS bukan Donald Trump.
"Namun, di sisi lain Trump juga tipe presiden yang bergerak berdasarkan sentimennya sendiri dan cenderung punitive atau menghukum pada negara yang tidak disukai sehingga menciptakan uncertainty bagi pelaku usaha negara tersebut," jelasnya.
Menurut Shinta, Indonesia juga ikut terdampak gaya pemerintahan Trump tersebut. Ini melihat, sepanjang pemerintahan Trump, Indonesia untuk pertama kalinya di-review sampai dua kali untuk mempertahankan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Akibat kebijakan Trump pula, mekanisme dispute settlement di WTO menjadi tidak berfungsi, sehingga kasus-kasus yang ingin dimenangkan Indonesia melalui WTO sulit memiliki perkembangan yang cepat.
Dia juga berpendapat, kebijakan Trump terhadap China turut menciptakan peluang ekonomi bagi Indonesia. Namun, Shinta menilai, Indonesia tidak memperoleh keuntungan yang berarti dari peralihan perdagangan juga Investasi dari AS maupun China sepanjang 2018-2019. Bahkan, investasi maupun ekspor Indonesia-AS cenderung lebih rendah di 2019 bila dibandingkan dengan 2019.
"Karena perang dagang pun nilai tukar kita jadi melemah pasca Q3 2018 dan sampai sekarang belum bisa mencapai level 13.000 lagi. Trump juga membuat Indonesia diklasifikasikan sebagai “negara maju” dalam hal penerapan mekanisme anti subsidi di AS sehingga ke depannya Indonesia lebih sulit memenangkan sengketa anti-subsidi bilateral dengan AS," terang Shinta.
Baca Juga: Perpanjangan fasilitas GSP jadi peluang menggenjot ekspor produk tekstil ke AS
Berbeda dengan Trump, gaya pemerintahan Demokrat cenderung lebih formal dan mematuhi prinsip multilateral. Menurut Shinta, hal ini menciptakan kepastian relasi dagang dan investasi. Ini pun terlihat pada kepemimpinan Obama, dimana Indonesia bisa meningkatkan ekspor dan investasi, yang tidak pernah terjadi saat masa kepemimpinan Trump.
"Namun, di sisi negatifnya penekanan pada “fair trade” yang menyebabkan peningkatan kasus-kasus trade remedies yang dilakukan AS secara bilateral maupun multilateral terhadap Indonesia. Ini bisa mengancam bahkan mematikan ekspor unggulan nasional bila kita kalah," kata Shinta.
Lebih lanjut, Shinta mengatakan, bila nantinya yang menjadi Presiden AS berikutnya adalah Trump, maka usulan limited trade deal Indonesia-AS kemungkinan besar bisa lebih mudah dan lebih cepat direalisasikan karena sifat pemerintahnya lebih pragmatis.
Baca Juga: Emiten-emiten ini bisa ketiban untung dari perpanjangan fasilitas GSP
Sementara, bila Biden yang terpilih, maka limited trade deal mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama atau perlu ditransformasikan. Dia menilai, hal ini dikarenakan Biden memiliki agenda tersendiri terkait mulitlateralisme dan AS yang mungkin beralih menjadi lebih menyukai kesepakatan dagang yang patu dengan aturan WTO.
"Di luar itu, kami tidak memproyeksikan banyak perubahan karena semua tergantung pada daya tarik iklim usaha dan investasi Indonesia, khususnya karena konflik AS-China dan negara-negara cenderung terus dipertahankan oleh Biden karena kebutuhan ekonomi internalnya sendiri, khususnya untuk job creation," kata Shinta.
Dia juga menambahkan, sektor-sektor ekonomi nasional yang diuntungkan dari Amerika Serikat masih sama saja mengingat tidak ada perubahan yang signifikan berkaitan dengan komoditas ekspor unggulan maupun sektor investasi yang diminati AS di Indonesia baik bila dipimpin Trump ataupun Biden.
Selanjutnya: Perhitungan suara belum final, Trump: Kami sudah menang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News