Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara buka suara terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) ekspor emas senilai Rp 189 triliun.
Menurutnya, temuan tersebut sebenarnya bermula pada 2016 saat Bea dan Cukai melakukan pencegahan atas ekspor logam mulia. Pencegahan tersebut dilakukan lantaran eksportir mengaku yang diekspor merupakan perhiasan, yang nyatanya adalah ingot emas seberat 218 kilogram dengan nilai US$ 6,8 juta.
“Kemudian Bea dan Cukai mendalai (kasus ini) dan ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan,” tutur Suahasil dalam media briefing, Jumat (31/3).
Berkas-berkas kasus ini kemudian telah dinyatakan P21 dan siap dibawa ke pengadilan. Sayangnya, Bea dan Cukai kalah atas gugatan tersebut, sebab pengadilan merasa tidak ada unsur tindak pidana di bidang kepabeanan.
Baca Juga: Soal Perbedaan Data Transaksi Janggal Rp 349 T, Kemenkeu: Hanya Beda Klasifikasi Data
Setelah kalah, Bea dan Cukai kemudian mengajukan kasasi, dan memenangkan atas perkara tersebut. Namun, setelahnya pihak eksportir tersebut mengajukan peninjauan kembali (PK) ke pengadilan dan pada akhirnya pengadilan menetapkan Bea Cukai kembali kalah dan dianggap tidak terbukti tindak pidananya.
“Ketika tindak pidana asalnya tidak terbukti oleh pengadilan TPPU enggak maju pada 2019. Tapi perkaranya ini dari 2016 sampai 2019. Dari periode itu ada berbagai macam pertukaran data yang dilakukan dalam diskusi, rapat, antara Kemenkeu dan PPATK yang ada nama Pak Heru Pambudi (Sekjen Kemenkeu) disebut terima data itu,” jelasnya.
Dalam proses penindakan kasus tersebut, sebetulnya Bea Cukai dan PPATK telah melakukan gelar perkara dan diskusi mendalam untuk merespons hasil putusan pengadilan itu. Akan tetapi, pada 2020, ditemukan lagi kejadian serupa dengan modus yang sama pada 2016.
Alhasil, tim dari Bea Cukai dan PPATK sepakat untuk mencari celah hukumnya di bidang pajak. Akibatnya, kasus ini diserahkan juga ke tim penyidik Ditjen Pajak dan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan ke tiga wajib pajak, serta pengawasan terhadap tujuh wajib pajak.
Hasil dari upaya itu, didapati nilai penerimaan pajak yang diperoleh terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar. Maka, ia menegaskan, tidak ada perbuatan pembiaran oleh Bea Cukai terkait kasus ini dan melibatkan internal bea cukai sehingga kasus ini gagal di pengadilan.
“Hingga saat ini nilai penerimaan pajak yang dihasilkan terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar,” jelasnya.
Baca Juga: Disentil Mahfud MD karena Tak Lapor TPPU ke Sri Mulyani, Heru Pambudi Buka Suara
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani juga turut menjelaskan kronologi adanya transaksi mencurigakan tersebut. Laporan PPATK terkait nilai total transaksi uang keluar dan uang masuk Rp 189 triliun itu telah ditindaklanjuti dan tidak ditemukan indikasi pelanggaran di bidang kepabeanan.
Persoalan ini pun kata dia telah dipaparkan ke PPATK dan didapati tak ada yang terkait pegawai DJBC.
“Dari sisi kepabeanan, kita bersama PPATK tidak ada tindak pidana kepabeanan dan 2018-2020 nilainya memang Rp 189 triliun yang masuk ke definisi perusahaan, tidak ada menyangkut sama sekali pegawai Kementerian Keuangan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News