kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Ini harapan BPJS Watch di periode kedua Presiden Jokowi


Minggu, 20 Oktober 2019 / 11:09 WIB
Ini harapan BPJS Watch di periode kedua Presiden Jokowi
ILUSTRASI. Petugas menunjukkan prosedur kepengurusan kartu BPJS Kesehatan kepada masyarakat di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Batam, Rabu (19/12/2018). BPJS Watch berharap periode kedua pemerintahan Jokowi mampu atasi permasalahan pelaksanaan program jaminan sosial. T


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. BPJS Watch menyebutkan, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pada periode kedua pemerintahan terkait penyelenggaraan program jaminan sosial. Yaitu defisit pembiayaan BPJS Kesehatan dan regulasi operasional pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan yang mesti diperbaiki.

Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pelaksanaan lima program jaminan sosial selama enam tahun ini telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Kehadiran Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) memberikan akses luas kepada masyarakat untuk berobat ke faskes pertama maupun lanjutan. Penderita penyakit katastropik tidak harus jatuh miskin lagi ketika berobat ke RS.

Demikian juga pelaksanaan empat program jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) telah memberikan manfaat bagi pekerja kita yang mengalami kecelakaan kerja hingga meninggal, dan pekerja yang mengalami PHK.

Baca Juga: Jelang pelantikan Jokowi-Ma'ruf, jalan sekitar Monas ditutup

"Namun demikian pelaksanaan jaminan sosial di era pemerintahan Presiden Jokowi – Jusuf Kalla bukannya tidak ada masalah. Masih ada masalah dalam pelaksanaan kelima program jaminan sosial tersebut yaitu dari sisi regulasi, implementasi dan pembiayaan, yang menyebabkan akses peserta terhadap manfaat jaminan sosial semakin dibatasi," ujar Timboel dalam keterangan tertulisnya, Minggu (20/10).

Pertama, terkait program JKN. Timboel menilai program JKN masih menyisakan banyak masalah, dan akan menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden, termasuk Wapres dan kabinetnya, yang harus diselesaikan di periode keduanya.

Masalah defisit pembiayaan JKN di era pertama pemerintahan Jokowi menjadi isu utama yang tiap tahun terjadi, dan berpotensi juga terjadi di periode keduanya nanti. Akibat defisit tersebut, ada beberapa regulasi dibuat yang menghambat akses peserta pada penjaminan JKN.

Timboel mengatakan, Pasal 52 ayat (1r) Peraturan Presiden (Perpres) no. 82 Tahun 2018 yaitu pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang tidak dijamin oleh Program JKN lagi.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional mengeluarkan dua obat kanker usus besar per 1 Maret 2019 lalu yaitu obat Bevacizumab dan Cetuximab, berakibat pasien kanker usus besar harus merogoh kantung sendiri untuk membiayai dua obat yang mahal tersebut. "Nyawa pasien kanker dipertaruhkan," ucap dia.

Timboel menilai, para pembantu Presiden kerap kali mengadakan rapat dan membicarakan defisit tetapi hingga saat ini belum juga mampu mencari solusinya secara sistemik. Defisit di 2019 terbilang sangat besar dan menyebabkan utang BPJS Kesehatan ke RS terus menumpuk triliunan rupiah sehingga cash flow RS terganggu untuk mengoperasionalkan RS.

Baca Juga: Prabowo akan hadiri pelantikan Jokowi-Ma'ruf

Tidak hanya RS yang terganggu tetapi juga pasien JKN, perusahaan obat dan alat kesehatan pun mengalami dampak buruknya. Denda satu persen yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan kepada RS akibat keterlambatan bayar, yang nilainya sudah mencapai ratusan miliar, tentunya juga akan menambah beban defisit JKN. Inefisiensi pembiayaan akibat denda dibiarkan terus terjadi sehingga merugikan APBN.

BPJS Watch meminta Presiden Jokowi harus segera mengambil alih persoalan ini, dan jangan biarkan para pembantunya nanti, di kabinet baru, mengulangi kebiasaan para pembantu sebelumnya yang senang berwacana dan berargumentasi di meja rapat tanpa berani mengeksekusinya.

"BPJS Watch berharap Pak Jokowi paska pelantikan segera mengeksekusi memberikan bantuan kepada BPJS Kesehatan agar utang ke RS segera diselesaikan, dan terus mengevaluasi kinerja pembantunya dalam menyelesaikan masalah defisit JKN ini. Termasuk mengevaluasi beberapa regulasi seperti di atas yang memang menghambat akses peserta atas penjaminan JKN," ungkap Timboel.

Kedua, terkait Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Timboel mengatakan, pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan pun masih menyisakan beberapa masalah. Beberapa regulasi operasional dibuat tidak sesuai dengan ketentuan UU yang mengamanatkannya, dan ada amanat dalam Peraturan Pemerintah yang tidak juga dilaksanakan oleh Pemerintah.

Ia menyatakan, diserahkannya pengelolaan Program JKK dan JKm bagi ASN yaitu PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) kepada PT. Taspen tidak sesuai dengan amanat Pasal 92 ayat (2) UU dan Pasal 106 ayat (2) UU ASN No. 5 Tahun 2014 tentang ASN serta Perpres no. 109 Tahun 2013 dan Pasal 75 ayat (2) PP No. 49 Tahun 2018. Bila mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut maka seharusnya Program JKK dan JKm bagi ASN diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

Demikian juga Program JKK dan JKm bagi PPNPNS (Pegawai Pemerintah Non PNS) seharusnya juga dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, bukan oleh PT. Taspen. Akibat ketidaksesuaian regulasi dan operasionalisasi ini maka banyak ASN dan PPNPNS yang mengalami kesulitan dalam pembiayaan ketika mengalami kecelakaan kerja, dan tentunya iuran 0,72% untuk JKm di Taspen akan berpotensi menyebabkan inefisensi APBN dan APBD mengingat iuran JKm di BPJS Ketenagakerjaan hanya 0,3%.

Baca Juga: Jelang pelantikan, Jokowi temui tamu negara

Terlebih, kata dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun telah melakukan kajian dan telah menyurati Presiden pada tanggal 16 September 2019 lalu terkait pengelolaan JKK dan JKm bagi ASN dan PPNPNS tersebut. Dalam suratnya KPK menyatakan bahwa “Pemerintah tidak segera menerbitkan PP tentang tata cara pengalihan program Jamsos ketenagakerjaan sebagaimana yang diminta oleh Pasal 66 UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS”.

Lalu KPK pun menyatakan “Tidak dipatuhinya peta jalan oleh semua yang berkepentingan sehingga terjadi penyimpangan atas UU berupa penerbitan produk hukum yang tidak sesuai dengan yang diperlukan.”

Ia menyebutkan, dalam Ringkasan Eksekutif Kajian Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai lampiran surat ke Presiden tersebut, pada alinea ke-9, KPK menyatakan ”Hal lainnya yang turut dikaji yaitu ilustrasi apabila penyelenggaraan Jamsos Tenaga Kerja oleh 3 penyelenggara digabung menjadi satu badan ke BPJS Ketenagakerjaan, maka potensi biaya operasional yang dihemat mencapai sebesar kurang lebih Rp. 1 Triliun per tahun. Surat KPK tersebut mengoreksi pelaksanaan jaminan sosial selama ini yang tidak sesuai dengan UU sehingga menyebabkan inefisiensi.

BPJS Watch berharap Presiden Jokowi paska dilantik segera merespon dengan serius kajian dan surat KPK ini sehingga penyelenggaraan program Jamsos kembali sesuai dengan tiga asas dan sembilan prinsip SJSN, dan seluruh pekerja, baik swasta maupun ASN dan PPNPNS, bergotong royong dan mendapatkan manfaat yang sama, seperti layaknya seluruh pekerja swasta maupun ASN dan PPNPNS bergotong royong di program JKN.

"Untuk jangka pendek, Pemerintah harus tetap memastikan pelaksanaan JKK dan JKm seluruh PPNPNS di BPJS Ketenagakerjaan, tidak boleh lagi ada upaya menarik-narik ke PT. Taspen," ucap dia.

Kemudian, terkait dengan revisi PP No. 44 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan program JKK dan JKm, yang mengacu pada pasal 29 dan 36 PP no. 44 tersebut, manfaat Program JKK dan JKm dilakukan evaluasi secara berkala paling lama setiap 2 tahun, Sejak diterbitkan tanggal 1 Juli 2015 lalu, kedua program ini tidak pernah dievaluasi manfaatnya.

Dengan dana kelolaan yang cukup besar, per 30 Juni 2019 dana kelolaan Program JKK sebesar Rp. 32,47 Triliun dengan hasil investasi per tahun bisa mencapai Rp. 2,4 Triliun, dan JKm sebesar Rp. 11, 78 Triliun dengan hasil investasi per tahun sekitar Rp. 900 miliar.

"Maka seharusnya Pemerintah sudah dua kali meningkatkan manfaat JKK dan JKm, tapi hingga saat ini Pemerintah belum juga meningkatkan manfaat JKK dan JKm yang akan meningkatkan kesejahteraan buruh," terang dia.

Baca Juga: Berikut daftar pejabat dari 16 negara yang akan hadiri pelantikan Jokowi-Ma'ruf

Walaupun Menteri Sekretaris Negara telah meminta paraf beberapa kementerian untuk pengesahan revisi PP No. 44 Tahun 2015 pada bulan Mei lalu namun hingga saat ini revisi PP tersebut belum juga ditandatangani Presiden. Akibat keterlambatan ini peserta masih mendapat manfaat seperti yang diatur di PP no. 44 yang lama. Dari draft revisi PP No. 44 yang saya baca ada beberapa kenaikan manfaat, salah satunya adalah santunan kematian menjadi Rp 42 juta dan beasiswa untuk dua anak hingga perguruan tinggi.

"Bulan lalu di Kota Kendari dan tanggal 17 Oktober kemarin di Kota Mataram, saya menyaksikan langsung pemberian santunan kematian kepada ahli waris dari seorang nelayan (di Kendari) dan kepala dusun (di Kota Mataram) yang meninggal dunia dari BPJS Ketenagakerjaan yaitu masing-masing sebesar 24 Juta. Bila saja Presiden menyegerakan menandatangani revisi PP No. 44 tahun 2015 maka kedua ahli waris tersebut akan mendapatkan santunan sebesar Rp 42 juta dan dua anak dari pekerja yang meninggal dunia tersebut akan mendapatkan beasiswa hingga perguruan tinggi," ujar dia.

Akibat para pembantu Presiden yang memperlama proses revisi dan penandatanganan revisi PP ini oleh Presiden menyebabkan ahli waris nelayan dan kepala dusun tersebut gagal mendapatkan santunan yang lebih baik untuk mendukung mensejahterakan keluarganya.

"Ini sangat ironis tentunya. Semoga setelah dilantik, Pak Presiden Jokowi langsung menandatangi revisi PP No. 44 tahun 2015," ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×