kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.513.000   -1.000   -0,07%
  • USD/IDR 15.935   10,00   0,06%
  • IDX 7.327   130,75   1,82%
  • KOMPAS100 1.120   21,42   1,95%
  • LQ45 884   14,25   1,64%
  • ISSI 223   3,07   1,39%
  • IDX30 452   7,34   1,65%
  • IDXHIDIV20 542   7,51   1,40%
  • IDX80 128   2,15   1,70%
  • IDXV30 131   2,15   1,67%
  • IDXQ30 150   2,26   1,53%

Informasi hoaks soal Covid naik turun mengikuti kasus positif


Sabtu, 09 Oktober 2021 / 12:56 WIB
Informasi hoaks soal Covid naik turun mengikuti kasus positif
ILUSTRASI. Petugas mendeteksi berita hoaks yang beredar di jejaring media sosial dengan menggunakan aplikasi Tangkal dan Analisa Berita Bohong (Taboo) ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/hp.


Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Lamgiat Siringoringo

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  Di tengah pandemi, angka penyebaran hoaks atau berita bohong di media sosial dan media online meningkat.  Kepala Divisi Riset Indonesia Indikator, Fanny Chaniago menyebutkan berita hoaks tersebut muncul ditengah ketidakpastian informasi mengenai Covid-19 di awal-awal pandemi.

Sementara informasi mengenai Covid di media sosial mengalir dengan deras. “Media online juga jadi pemicu maraknya informasi hoaks, karena tak sedikit yang membahasnya,” ungkap Fanny dalam diskusi daring yang diadakan Katadata Indonesia, pada Jum’at (8/10).

Ia menambahkan, berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Indikator, informasi hoaks yang menyebar di masa pandemi mengalami pasang surut. Fanny mencontohkan, setelah awal pandemi, berita hoaks Kembali marak ketika vaksinasi mulai dilakukan pada awal 2021. Setelah itu sempat menurun, lalu meningkat lagi ketika virus korona varian Delta menyebar pada pertengahan 2021.

Dalam analisa Indikator setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang menyebarkan hoaks selama pandemic. Ada yang bertujuan untuk melakukan tekanan politik kepada pemerintah, lalu membuat masyarakat bingung dengan kondisi pandemi dan yang terakhir yang ingin mengambil keuntungan ekonomi dari pandemi. Menurut dia, motif yang kedua adalah yang paling banyak memakan korban. “60 persen lebih warganet percaya dengan hoaks seputar pandemi,” kata Fanny.

Co-Founder & CMO of Bicara Project, Chika Audhika mengatakan etika komunikasi warganet di media sosial belum baik. Tidak sedikit pengguna internet yang masih memuat konten negatif, di banding yang positif. Ia sangat menyayangkan hal ini, karena karena sebenarnya banyak fungsi media sosial yang berguna untuk kehidupan seseorang dalam jangka panjang. “Saat ini tidak sedikit perusahaan yang menjadikan isi media sosial seseorang sebagai salah satu penilaian dalam rekrutmen kerja,” ujar Chika.

Karena itu ia menganjurkan masyarakat menghindari konten negatif ketika bermain media sosial, karena semua aktivitas disana akan terekam secara digital. Menurut Chika, celah seseorang untuk menghindar dari jeratan hukum di dunia maya semakin kecil, sekalipun menggunakan akun anonim. Selain kini Indonesia memiliki Undang-undang ITE, informasi tentang pemilik akun dapat dengan mudah ditelusuri. Karena ketika seseorang hendak membuat akun media sosial, ada data pribadi yang harus dimasukkan sebagai persyaratan.

Sementara itu, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang juga Penulis Buku Etika Komunikasi di Era Siber, Fajar Junaedi berpendapat, etika di media sosial tidak jauh berbeda dengan etika di kehidupan sosial pada umumnya. Ada norma-norma yang harus dijaga, layaknya di kehidupan sehari-hari, seperti sopan santun dan tata krama. “Media sosial adalah cermin dari kepribadian seseorang,” kata Fajar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×