Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI rate di level 7,5%. BI juga tetap mempertahankan suku bunga deposit facility 5,5% dan lending facility di level 8%.
Ke depan, BI melihat ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi. Terutama karena inflasi akhir 2015 yang akan berada di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan pada kisaran 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Deputi Bidang Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung memperkirakan, inflasi Desember 2015 sekitar 0,5%. Dengan inflasi Januari-November 2015 yang sebesar 2,37%, maka inflasi sepanjang tahun 2015 di kisaran 2,85%.
BI juga memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 akan melambat di angka 4,8% (yoy), lebih rendah dari 5,0% (yoy) pada 2014. Pelambatan itu dipengaruhi ekspor yang menurun seiring lemahnya permintaan global dan harga komoditas.
BI melihat kondisi makro ekonomi dan pasar keuangan relatif stabil. Ini terlihat dari positifnya respon pasar atas kenaikan suku bunga The Fed dari 0,25% menjadi 0,5%.
"Itu jadi salah satu pertimbangan yang membuat ruang pelonggaran moneter makin terbuka," ujarnya, Kamis (17/12).
BI akan tetap memperhatikan rencana kenaikan Fed Rate lanjutan tahun depan. Rencananya The Fed akan kembali meningkatkan suku bunga menjadi 1,5% hingga penghujung 2016.
Jika respon pasar sama seperti Desember ini, maka peluang pelonggaran kebijakan kian lebar. "Kita lihat Januari," katanya.
Ada dua instrumen moneter yang saat ini dimiliki BI untuk melakukan pelonggaran, yaitu dengan kebijakan giro wajib minimum (GWM) atau kebijakan suku bunga.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menambahkan, masih ada risiko eksternal yang perlu diwaspadai. Antara lain perlambatan ekonomi China dan kondisi pasar keuangan pasca suku bunga the Fed.
Walau begitu, pada 2016 diperkirakan pertumbuhan ekonomi RI meningkat menjadi 5,2%-5,6%. Pertumbuhan didorong stimulus fiskal dari realisasi infrastruktur dan konsumsi. Tirta bilang di tengah dinamika ekonomi global, upaya pemerintah meningkatkan daya beli dan efektivitas fiskal menjadi penting.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News