Reporter: Yoliawan H | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China kian menjadi. Hal ini akan ditandai pada 6 Juli 2018 mendatang dengan Rencana Amerika Serikat menerapkan tarif impor barang asal China hingga senilai US$ 34 miliar.
Pun, jika rencana itu benar terjadi, posisi Indonesia akan semakin tertekan. Mulai dari rupiah yang akan terus terdepresiasi, ditambah lagi dengan potensi neraca perdagangan yang akan mengarah defisit.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, yang akan terdampak langsung kemungkinan nilai ekspor Indonesia yang akan anjlok.
“Posisinya Indonesia ada di supply chain global paling bawah, kalau Indonesia sebagai pemasok bahan baku ke China atau Amerika Serikat maka dampak langsungnya adalah anjloknya nilai ekspor Indonesia,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (3/7).
Kemudian, yang dikhawatirkan lagi adalah akan banjirnya produk impor dari China yang dialihkan ke Indonesia karena Indonesia negara dengan hambatan tarif terendah jadi sangat mudah dibanjiri impor.
Pun, tidak menutup kemungkinan Indonesia menjadi target selanjutnya dari perang dagang AS melihat dumping terhadap Indonesia oleh pihak AS.
“Belum terlaksana saja, dari Januari hingga Mei 2018 ekspor sawit anjlok 15%, karet anjlok 22% dan akan diperparah dengan terjadinya perang dagang,” ujar Bhima.
Hal itu juga akan membuat neraca dagang Indonesia kembali defisit karena ekspor yang tertekan. Diprediksikan neraca dagang akan defisit pada semester II tahun ini.
Di sisi lain rupiah pun akan semakin merangkak dengan adanya kondisi ini. Walaupun Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga hingga 100 bps dalam dua bulan terakhir, nyatanya rupiah masih tertekan dan mengarah ke level Rp 14.500 per dollar Amerika Serikat.
“Prediksi moderat, rupiah diprediksi akan terus tertekan dan di akhir Juli akan ada di rentang 14.700-14.800,” ujar Bhima.
Dari sektor usaha, beberapa sektor akan terdampak signifikan dengan adanya perang dagang ini seperti eksportir bahan baku sawit, batubara dan karet.
“Tekstil karena permintaan dari Amerika dan China akan drop. Serta bahan makanan dan minuman,” tutup Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News