kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Indef: Peran Pemerintah Harus Lebih Besar Ketimbang BI Meredam Inflasi


Senin, 30 Januari 2023 / 19:47 WIB
Indef: Peran Pemerintah Harus Lebih Besar Ketimbang BI Meredam Inflasi
ILUSTRASI. Inflasi: Pedagang menata cabai yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta,


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manaf Pulungan menilai, peranan pemerintah harusnya lebih dominan dibandingkan Bank Indonesia (BI) untuk meredam inflasi.

Untuk diketahui, BI gencar menaikkan suku bunga acuannya selain untuk merespon kenaikan suku bunga acuan The Fed, juga untuk meredam inflasi di tanah air. Secara kumulatif, BI sudah menaikkan suku bunga acuan dengan total 225 basis poin dari Agustus 2022 hingga awal tahun 2023.

Abdul memang tak menyangkal kebijakan moneter oleh BI juga dibutuhkan untuk meredam inflasi. Akan tetapi melihat faktor penyebab inflasi saat ini, peranan pemerintah harus lebih ditingkatkan lagi.

Baca Juga: Redam Inflasi, Indef Sarankan Pemerintah Pusat dan Daerah Atur Atur Harga Komoditas

“Untuk meredam inflasi sebagian besar dilakukan dengan menggunakan kebijakan moneter, sehingga tidak match (cocok) antara sumber dan tools yang digunakan. Yang mana kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral, sementara kebutuhan yang harus dipenuhi untuk inflasi adalah perubahan kebijakan struktural oleh pemerintah,” tutur Abdul dalam forum agenda diskusi Indef, Senin (30/1).

Ketidakcocokan yang dimaksud adalah karena inflasi yang terjadi saat ini dominan disebabkan dari sisi penawaran karena masalah produksi, distribusi, masalah gagal panen, pandemi Covid-19, lonjakan jumlah penduduk, dan maupun masalah ekonomi hijau.

Akan tetapi, selama ini penyelesaian yang sering dilakukan selalu dengan menaikkan suku bunga acuan. Sementara itu, kata Abdul, di sektor hulunya justru tidak kunjung diperbaiki.

“Misalnya masalah bawang beras dan bawang putih ini kan urusannya pemerintah bukan Bank Indonesia lewat kenaikan suku bunga acuan. Tetapi karena itu menjadi sumber inflasi Indonesia,” jelasnya.

Menurutnya, di Indonesia inflasi inti justru rendah, sementara inflasi lainnya seperti inflasi pangan, dan inflasi energi sangat tinggi. Sehingga menjadi tugas pemerintah dalam hal ini Kementerian/Lembaga untuk mengatasi hal tersebut, dan bukan BI.

Abdul mengatakan, sebenarnya BI selama ini sudah melakukan beberapa hal penting untuk meredam inflasi. Misalnya mendirikan kluster yang fokus menyasar inflasi daerah, seperti kluster padi dan cabai. Akan tetapi, upaya tersebut menurutnya bukan inti dari tugas BI, tetapi bagian dari tugas pemerintah daerah.

“Sayangnya pemerintah daerah kita tidak fokus ke inflasi. Tetapi  fokus kepada pertumbuhan, pengangguran dan kemiskinan. Padahal yang menentukan kondisi tersebut adalah inflasi,” jelasnya.

Baca Juga: Enam Bahan Pokok Ini Alami Kenaikan Harga Dibanding Bulan Lalu

Lebih lanjut, Abdil menilai jika sepanjang 2023 kondisi perekonomian global dalam keadaan aman, dan pemerintah pusat tidak mengeluarkan kebijakan kenaikan harga, maka target inflasi pemerintah tahun ini yang sebesar 3,6% bisa tercapai, atau bahkan lebih rendah lagi.

Meski begitu, paling penting adalah pemerintah bisa menjaga penyebab inflasi dari bahan makanan. Sebab jika tidak dikelola dengan baik, maka penduduk miskin bisa terdampak dan menyebabkan angka kemiskinan ekstrim meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×