Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penetapan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara. Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, ada tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terkait kebijakan cukai rokok. Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.
PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Golongan tarif tersebut disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil. Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.
Baca Juga: Ratusan petani Pamekasan bakar tembakau yang baru di panen, ada apa?
“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” kata Tauhid dalam acara diskusi “Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai” di Jakarta Selatan, Rabu (28/8).
Kedua, dari hasil penelitian sampai April 2019, Indef menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah. “Jika perusahaan rokok yang membayar tarif cukai pada golongan 2B (rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya adalah Rp 715 miliar. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?" kata Tauhid.
Baca Juga: Pemerintah diminta gandeng KPK cegah kebocoran penerimaan cukai rokok
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah telah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp 50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar. Namun dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunannya tidak terdapat kategori soal skala usaha industri rokok. Skala usaha industri rokok hanya mengacu pada jumlah produksi rokok.
Ketiga, keberadaan 'diskon rokok' yang menyalahi konsep cukai sebagai instrumen pengendalian dan berpotensi membuka peluang persaingan yang tidak berkeadilan. Tauhid mengatakan diskon rokok terjadi salah satunya akibat level playing field yang tidak setara.
Ketentuan diskon rokok diatur melalui Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37/2017. Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85% dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai. Produsen dapat menjual di bawah 85% dari HJE, asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei kantor Bea Cukai.
Baca Juga: Asing Jual Saham Rokok, Kapitalisasi Pasar HMSP dan GGRM Anjlok premium
Selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, keberadaan diskon rokok juga turut membuat penerimaan negara tidak optimal.
Dari 1.327 merek rokok yang diteliti pada April 2019, sebanyak 46,8% diskon terjadi pada sigaret kretek mesin yang membayar tarif cukai golongan yang rendah. “Diskon banyak dilakukan oleh pelaku dengan tingkat persaingan besar,” ujar Tauhid.
Adanya potensi optimalisasi penerimaan negara dari pajak penghasilan rokok hingga Rp 1,73 triliun jika kebijakan ini dikaji ulang pada tahun ini. Rinciannya, pajak penghasilan dari rokok yang dijual 85% di bawah HJE sebesar Rp 467 miliar dan pajak penghasilan dari kebijakan HTP antara 85%-100% terhadap HJE sebesar Rp 1,26 triliun.
Baca Juga: Asosiasi mainan bersama direktorat bea dan cukai adakan sosialisasi perubahan PMK
Berdasarkan temuan diatas, Tauhid menjelaskan, Indef mengajukan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, melakukan langkah korektif dengan mengkaji kembali struktur tarif cukai.
Kedua, menempatkan instrumen “tegas” pada produsen rokok yang memanfaatkan batasan produksi dengan cara penciptaan merek baru dan afiliasi produksi. Dan ketiga, menerapkan kebijakan HTP sama dengan HJE atau mempersempit wilayah survei dari saat ini sebanyak 40 kota.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News