Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor senjata dan amunisi Indonesia sepanjang Januari-Juli 2025 menembus US$ 65,04 juta atau setara Rp 1,06 triliun (kurs Rp 16.414).
Data ini mencakup kategori senjata militer, bom, granat, torpedo, hingga amunisi lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menilai, belanja impor senjata dan amunisi pada periode tersebut masih relatif kecil dibanding total impor nasional.
Baca Juga: Belanja Militer China Naik 7,2% di 2025, Fokus pada Modernisasi dan Kesiapan Tempur
Karena itu, dampak langsung terhadap neraca perdagangan maupun inflasi dinilainya terbatas.
Namun, ia menegaskan angka tersebut merefleksikan arah prioritas negara pada penguatan postur pertahanan.
“Dalam jangka panjang berimplikasi pada ruang fiskal karena dana publik dialihkan dari sektor produktif ke belanja militer,” kata Rizal kepada Kontan.co.id, Rabu (3/9).
Menurutnya, efek ekonomi dari belanja pertahanan akan bergantung pada keterhubungannya dengan industri dalam negeri.
Jika seluruhnya impor, multiplier effect ekonomi domestik hampir tidak terasa. Tetapi, bila pengadaan senjata dibarengi dengan program offset, transfer teknologi, atau kemitraan dengan BUMN pertahanan, belanja itu bisa menjadi pintu memperkuat basis industri strategis nasional.
Baca Juga: Ketegangan Geopolitik Memanas, Belanja Militer Dunia 2024 Catat Rekor US$ 2,7 Triliun
Rizal juga menilai pembelanjaan pertahanan dapat dibaca sebagai investasi dalam stabilitas. Modernisasi alutsista di tengah dinamika geopolitik kawasan memberi sinyal keamanan yang pada gilirannya menopang kepercayaan investor.
“Dengan kata lain, meski kontribusi langsung ke PDB kecil, nilai strategisnya terhadap iklim investasi dan keamanan jangka panjang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Rizal menekankan adanya paradoks ekonomi-politik dalam belanja militer Indonesia.
Dari sisi fiskal nilainya kecil, dari sisi geopolitik penting, namun secara industrial masih berisiko melanggengkan ketergantungan pada impor.
Mengutip data BPS, kategori senjata militer selain pistol dan revolver (HS 93019000) menjadi penyumbang terbesar dengan nilai impor mencapai US$ 46,83 juta dan volume 99.883 kg.
Baca Juga: 15 Negara dengan Anggaran Militer Terbesar Tahun 2025
Uni Emirat Arab (UEA) tercatat sebagai pemasok utama dengan nilai US$ 25,85 juta, diikuti Amerika Serikat US$ 11,59 juta, serta Italia US$ 7,36 juta.
Di sisi lain, kategori bom, granat, dan torpedo (HS 93069010) juga cukup signifikan, dengan nilai impor US$ 17,85 juta.
Prancis memimpin sebagai pemasok dengan nilai US$ 12,66 juta, disusul Republik Cheska US$ 2,53 juta dan Korea Selatan US$ 1,67 juta.
Adapun kategori amunisi dan proyektil lainnya (HS 93069090) mencatat nilai lebih kecil, yakni US$ 358.677.
Amerika Serikat menjadi pemasok terbesar senilai US$ 255.099, kemudian Korea Selatan US$ 103.500, serta Jepang.
Selanjutnya: Waskita Karya (WSKT) Garap Proyek Daerah Irigasi di Sumsel
Menarik Dibaca: KLB Campak di Sumenep, Menkes Sebut Campak Lebih Menular daripada COVID-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News