Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) minta Pemerintah dan DPR membahas RUU Kesehatan lebih mendalam dan komprehensif. ICMI menekankan perlunya dialog dengan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pemutakhiran Undang-Undang Kesehatan.
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI Zaenal Abidinbilang bahwa dalam proses pembentukan Undang-Undang, dialog terbuka adalah suatu keniscayaan dan menjadi hak warga negara, yang sering disebut meaningful participation. Dalam dialog itu warga negara didengarkan pendapatnya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Perlunya dialog ini, karena ICMI memandang pembahasan selama ini dinilai tidak transparan dan terkesan terburu-buru.
Beberapa catatan kritis ICMI terkait RUU Kesehatan ini di antaranya adanya upaya penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, rekomendasi bagi anggotanya yang berpraktik melayani masyarakat menjadi isu penting. Ditengarai RUU ini dapat menyebabkan terjadinya pemusatan kewenangan seluruh urusan kesehatan di Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Komisi XI Setujui Pagu Indikatif Kemenkeu dalam RAPBN 2024 Sebesar Rp 48,35 Triliun
ICMI berpandangan RUU Kesehatan berpretensi mengancam kemandirian rumah sakit. Hal ini menjadi salah satu poin keberatan organisasi-organisasi profesi di bidang kesehatan. Padahal selama ini peran masyarakat sangat signifikan dalam bidang kesehatan, termasuk dalam pengelolaan rumah sakit.
Hal lainnya, ICMI menilai bergesernya basis pendidikan dokter spesialis dari berbasis universitas ke pendidikan berbasis rumah sakit saja. Hal ini akan menurunkan mutu lulusan pendidikan dokter spesialis yang akan berdampak pada layanan kesehatan masyarakat.
Disebutkan pula bahwa RUU Kesehatan akan menyatukan 9 dari 10 Undang-undang bidang kesehatan. Salah satunya RUU ini akan menghapus UU No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Terbilang sedikit sekali cakupan pasal UU No.18 Tahun 2014 tersebut yang diakomodir dalam RUU sehingga dapat menjadi masalah baru. Demikian disampaikan Agung Frijanto, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialisasi Kedokteran Jiwa Indonesia.
Masalah lain yang muncul adalah dibolehkannya korban pemerkosaan melakukan aborsi pada usia kehamilan 14 minggu. Hal ini berseberangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hanya mentoleransi hingga batas usia kehamilan 6 minggu. Hilangnya kalimat “akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan” juga diperkirakan dapat menuai masalah di kemudian hari.
Lebih lanjut, ICMI Pusat menolak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang memasukkan tembakau ke dalam kategori narkotika dan psikotropika. Hal ini dinilai tidak tepat karena tembakau bukanlah narkotika dan psikotropika.
Penggolongan tembakau ke dalam kategori ini akan mempengaruhi upaya kesehatan dan juga berimplikasi luas dalam berbagai bidang termasuk Industri hasil tembakau (IHT). IHT memiliki sektor turunan yang cukup banyak, mulai dari pedagang asongan hingga petani. IHT bukan hanya rokok tetapi beragam mulai dari obat, kosmetika, penyedap rasa, dan lainnya.
Baca Juga: Tolak RUU Kesehatan, Ini 7 Alasannya yang Disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil
Menurut data sebanyak 6,1 juta petani tembakau di Indonesia yang bergantung pada sektor pertembakauan dan nantinya dapat terancam dengan digulirkannya regulasi ini.
Pada pokoknya ICMI menilai RUU Kesehatan yang saat ini sedang menjadi polemik belum memperhatikan kepentingan masyarakat secara utuh. Mengingat RUU ini akan berdampak pada seluruh masyarakat, ICMI Pusat menghimbau pemerintah dan DPR untuk membuka diri untuk berdialog dengan seluruh elemen masyarakat dalam pembahasannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News