Reporter: Arief Ardiansyah | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Greenomics Indonesia mengungkapkan, modal kerja 80 dari 105 perusahaan HPH selama 10 tahun ke depan bersumber dari kredit perbankan, yang mencapai angka Rp 1,64 triliun. Ke-80 perusahaan HPH tersebut menguasai areal konsesi seluas 5,91 juta hektar.
Greenomics Indonesia meminta agar Departemen Kehutanan membuat nota kerjasama teknis dengan pihak perbankan agar bisa mengontrol kinerja HPH-HPH tersebut sekaligus untuk mengantisipasi masalah kredit macet. Kasus kredit macet puluhan triliunan rupiah seperti yang pernah menimpa sektor kehutanan akibat krisis moneter 1998 harus menjadi pelajaran penting.
Demikian diungkapkan Koordinator Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi berdasarkan studi Greenomics tentang kucuran kredit perbankan dalam pembiayaan operasional HPH berdasarkan rencana kerja usaha 105 perusahaan HPH.
“Salah satu poin nota kerjasama teknis antara Dephut dan perbankan adalah memastikan bahwa penggunaan kredit perbankan untuk para pelaku usaha kehutanan harus benar-benar dialokasikan untuk investasi ke sektor kehutanan, bukan ke sektor non-kehutanan. Di samping itu, harus ada monitoring dan evaluasi bersama antara Dephut dan perbankan terhadap kredit perbankan yang disalurkan tersebut untuk melihat dampaknya terhadap pengelolaan areal konsesi HPH secara lestari,” papar Vanda.
Vanda juga menggarisbawahi pentingnya pihak perbankan memasukkan indikator-indikator kelestarian pengelolaan areal konsesi HPH dalam penyaluran kreditnya, agar bisa mendukung usaha-usaha HPH dalam mempraktikkan prinsip-prinsip kelestarian hutan di areal konsesinya. “Upaya itu juga akan meningkatkan citra baik (good publicity) bagi sektor perbankan, dalam upaya membangunan sistem perbankan yang ramah lingkungan (eco-friendly banking),” tambah Vanda.
Vanda meminta Departemen Kehutanan untuk mengecek kembali data perusahaan-perusahaan HPH yang menyebutkan kredit perbankan sebagai salah satu modal usaha untuk membiayai aktivitas operasionalnya, karena berdasarkan rencana kerja usaha perusahaan-perusahaan HPH tersebut, 51,86% dari total modal kerja HPH selama periode 10 tahun ke depan direncanakan bersumber dari kredit perbankan.
Data Greenomics menunjukkan, semua perusahaan HPH di wilayah Papua merencanakan menarik kredit dari perbankan dengan nilai Rp 262,65 miliar. Di wilayah Kalimantan, mencapai 50 dari 73 perusahaan HPH merencanakan untuk menarik kredit perbankan sebesar
Rp 960,73 miliar. Sementara, di wilayah Sulawesi, semua perusahaan HPH merencanakan untuk menarik kredit perbankan sebesar Rp 73,82 miliar. Di wilayah Maluku, nilai kredit perbankan direncanakan sebesar 238,47 miliar oleh 12 dari 13 perusahaan HPH. Terkecil di wilayah Sumatera, kredit perbankan dilakukan oleh 3 dari 4 perusahaan HPH dengan nilai sebesar Rp 101,56 miliar.
Untuk membuka transparansi publik, Vanda mengusulkan adanya dialog terbuka antara pihak Departemen Kehutanan, perbankan dan para pelaku usaha kehutanan untuk menjelaskan sejauh mana pembiayaan kredit perbankan untuk modal kerja sektor kehutanan dalam 10 tahun ke depan.
Vanda juga mengatakan, kredit perbankan seharusnya diprioritaskan untuk HPH-HPH yang berkinerja baik, sehingga dapat menjamin sisi kelestarian pengelolaan areal konsesi HPH.
“Terhadap perusahaan-perusahaan HPH yang berkinerja buruk, risiko kreditnya tentu besar, sehingga Departemen Kehutanan dan perbankan, mau tidak mau, harus membuat mekanisme kontrol yang ketat, termasuk mekanisme penegakan hukumnya," ujar Vanda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News