Reporter: Grace Olivia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri tak kunjung habis. Belum usai perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China, kini negara Paman Sam itu kembali memantik ketegangan dagang dengan Uni Eropa.
Presiden AS Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 10% pada pesawat Airbus dan tarif 25% pada produk asal Eropa seperti wine Prancis, wiski, keju, dan lainnya dengan nilai mencapai US$ 7,5 miliar pada produk ekspor negeri Benua Biru tersebut.
Rencana ini bahkan direstui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kasus pemberian subsidi ilegal pemerintah UE terhadap maskapai Airbus.
Baca Juga: Perdagangan AS-Eropa Menegang, Kurs Rupiah Hari Ini Melemah
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang, memanasnya tensi dagang antara AS dan Uni Eropa berpotensi menekan pertumbuhan kawasan Eropa lebih dalam lagi.
Padahal, kinerja perekonomian dan industri manufaktur negara ekonomi utama Eropa seperti Inggris dan Jerman di paruh pertama tahun ini sudah menunjukkan perlambatan.
Efek domino perang dagang AS-Uni Eropa tak bisa terhindarkan dari Indonesia. “Sebab Uni Eropa masuk dalam lima besar negara tujuan ekspor kita selama ini. Tekanan perekonomian Eropa pasti berdampak pada kinerja perdagangan eksternal Indonesia yang sejauh ini juga sudah tertekan,” tutur Josua kepada Kontan.co.id, Senin (7/10).
Asal tahu saja, pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia ke Eropa bahkan sudah turun 17% yoy atau senilai US$ 9,58 miliar sepanjang Januari-Agustus 2019. Sementara impor barang nonmigas dari Eropa juga turun 13,75% dengan nilai US$ 8,27 miliar pada periode yang sama.
Baca Juga: Sentimen dari Luar Negeri Lebih Mendominasi Pelemahan IHSG Hari Ini
Dengan dinamika hubungan dagang antar negara-negara besar tersebut, Josua khawatir kinerja ekspor Indonesia akan terus mengalami kontraksi sampai akhir tahun.
Dua hal yang harus dilakukan...
Begitu juga dengan investasi riil secara global masih akan tertahan sehingga belum mampu menjadi pendorong pertumbuhan domestik tahun ini.
Josua menilai pemerintah harus semakin cepat merespons dan mengambil kebijakan terkait dinamika risiko perekonomian saat ini. Ada dua hal yang disarankan Josua.
Pertama, “Penguatan hubungan dagang secara bilateral baik ke AS, China, dan Eropa harus dilakukan. Begitu juga dengan membuka hubungan dagang bilateral yang baru, dengan negara-negara tujuan ekspor lainnya,” lanjut Josua.
Meski terdengar klise, Josua menilai kebijakan alternatif negara tujuan ekspor Indonesia tersebut belum juga terlaksana hingga saat ini. Padahal, peran kebijakan itu penting dalam menghadapi risiko perang dagang yang makin meluas seperti yang terjadi belakangan.
Baca Juga: IHSG bertahan di level psikologis, ada potensi naik pada perdagangan besok
Kedua, perbaikan kebijakan-kebijakan terkait investasi, kepastian hukum, dan kemudahan berusaha di Indonesia juga harus terwujud segera.
“Jangan sampai kita lagi-lagi tertinggal kalah saing dengan negara lain, misalnya Vietnam, seperti pada perang dagang AS-China. Kita juga seharusnya juga bisa memanfaatkan celah peluang yang sama,” tutur dia.
Adapun, akhir tahun ini Josua meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan berada di kisaran 5% - 5,1%. Meski neraca dagang membaik lantaran pertumbuhan ekspor dan impor sama-sama menurun, tapi realisasi investasi diperkirakan akan tetap rendah dan tak mampu mendorong laju pertumbuhan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News