Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan terhadap permohonan uji materi (judicial review) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK).
Berdasarkan jadwal sidang yang tertera di laman web MK, mahkamahkonstitusi.go.id, sidang putusan tersebut akan diselenggarakan hari Kamis (30/1/2014) pukul 15.30 WIB.
Permohonan tersebut diajukan oleh lima pihak yang berbeda, tercatat dengan nomor perkara 90-94/PUU-XI/2013. Perkara nomor 90 tercatat atas nama Safaruddin, sementara perkara nomor 91 tecatat atas nama Habiburokhman.
Perkara nomor 92 diajukan oleh tiga orang sekaligus, yakni Muhammad Asrun, Samsul Huda, dan Hartanto. Perkara nomor 93 diajukan atas nama Salim Al Katri, sementara perkara nomor 94 juga diajukan tiga orang, yakni Muhammad Joni, Khairul Alwan Nasution, dan Fakhrurozzi.
Kebanyakan dari para pemohon adalah pengacara. Namun, dalam mengajukan permohonan ini, mereka mengatasnamakan diri sebagai warga biasa yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan keberadaan Perppu MK.
Perppu MK ini dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyelamatkan MK yang saat itu ketuanya, Akil Mochtar, ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus dugaan suap sengketa pilkada.
"Harapan kita, dengan perppu ini, kepercayaan rakyat terhadap MK pulih kembali sehingga MK bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Amat berbahaya jika MK yang kekuasaannya sangat besar tidak mendapatkan kepercayaan rakyat. Jangan sampai rakyat masih curiga," kata Presiden sesaat sebelum perppu diterbitkan.
Secara umum, perppu ini memuat tiga substansi. Pertama, yakni penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal tujuh tahun dari partainya.
Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu diseleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Dan ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang dipermanenkan.
Selain digugat di MK, Perppu MK ini juga sempat menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan. Banyak kalangan praktisi dan akademisi menilai, perppu dikeluarkan tidak pada saat situasi genting. Ada juga yang menilai perppu bersifat diskriminatif karena melarang seseorang untuk maju sebagai hakim jika belum lepas dari partai politik minimal tujuh tahun.
Di DPR, Perppu MK juga menjadi perdebatan serius dalam rapat paripurna. Rapat terus berlangsung alot dan tak juga menemukan kata sepakat. Akhirnya, perppu ini disetujui menjadi undang-undang melalui mekanisme pemungutan suara.
Terakhir, di internal MK sendiri, Perppu MK menuai kontroversi. Salah satu substansi perppu yaitu membentuk sebuah Majelis Kehormatan yang dipermanenkan untuk melakukan pengawasan terhadap MK, seakan ditentang oleh MK sendiri. Jauh sebelum nasib perppu diketahui, apakah diterima atau ditolak di DPR, MK malah buru-buru membentuk badan pengawas sendiri untuk mengawasi mereka.
Lembaga yang disebut sebagai Dewan Etik tersebut kini sudah terbentuk dengan anggota Abdul Mukti Fajar dari unsur mantan hakim konstitusi, dosen Universitas Airlangga Zaidun dari unsur akademisi, dan Malik Madani dari unsur tokoh masyarakat. Sementara Majelis Kehormatan permanen yang diamanatkan oleh perppu belum juga terbentuk. (Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News