kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,85   -7,45   -0.82%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga minyak mentah dan konsumsi tinggi penyebab melonjaknya subsidi energi


Minggu, 18 November 2018 / 18:08 WIB
Harga minyak mentah dan konsumsi tinggi penyebab melonjaknya subsidi energi
ILUSTRASI. BBM


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga 31 Oktober 2018 realisasi subsidi energi telah mencapai 124,2% dari target yang ditetapkan dalam APBN. Realisasi subsidi energi mencapai Rp 117,4 triliun dari anggaran yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp 94,5 triliun.

Bila dirinci, realisasi subsidi energi tersebut terdiri dari subsidi BBM dan LPG yang sudah mencapai Rp 75,3 triliun atau mencapai 160,7% dari anggaran APBN yang sebesar Rp 46,9 triliun, dan subsidi listrik yang mencapai Rp 42,1 triliun atau mencapai 88.3% dari anggaran APBN yang sebesar Rp 47,7 triliun.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anggaran subsidi ini berlebih, khususnya subsidi untuk BBM dan LPG.

Mamit mengatakan, harga menjadi faktor pertama. Mamit mengatakan, harga minyak mentah dunia cenderung menunjukkan kenaikan.

"Harga mentah dunia cenderung naik yang tadinya US$ 40-an, sekarang sudah sekitar US$ 60 per barel, secara otomatis, walaupun subsidi solar tetap, karena perbedaan harga tinggi, beban pemerintah naik lagi," tutur Mamit kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11).

Berdasarkan paparan Kementerian Keuangan, realisasi hanya minyak mentah Indonesia hingga 31 Oktober 2018 memang sudah mencapai US$ 69 per barel. Padahal, dalam asumsi dasar ekonomi makro di APBN 2018, harga minyak mentah Indonesia ditetapkan sebesar US$ 48 per barel.

Selain dari sisi harga, konsumsi bahan bakar minyak yang tinggi pun menjadi penyebab naiknya anggaran subsidi pemerintah.

"BBM yang disubsidi tidak ada batasan, dalam artian batasan penggunanya. Misalnya solar, siapapun bisa menggunakan solar," tambah Mamit.

Hal yang sama pun terjadi pada LPG ukuran 3 kilogram. Mamit menjelaskan, selain tidak ada batasan penggunaan, pola distribusinya pun terbuka. Adanya disparitas harga antara LPG yang disubsidi dengan LPG yang tidak disubsidi bisa berpotensi menimbulkan kecurangan.

Faktor lainnya adalah pelemahan nilai tukar rupiah, sehingga menyebabkan beban pemerintah atas subsidi energi ini terus bertambah.

Mamit menilai, bila pola yang ada saat ini tetap dipertahankan, maka realisasi subsidi akan terus melebihi anggaran APBN. Dia memperkirakan, hingga akhir tahun realisasi subsisi BBM dan LPG bisa mencapai Rp 80 - Rp 85 triliun. Terlebih, konsumsi masyarakat atas BBM dan LPG 3 kg pun akan meningkat khususnya saat natal dan tahun baru.

Menurut Mamit, pemerintah pun akan sulit menerapkan kebijakan baru untuk beban subsidi energi. "Saya kira pemerintah tidak akan mau mengambil kebijakan yang tidak populis, terlalu beresiko, apalagi di tahun politik," tandas Mamit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×