Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) Komisi XI DPR RI sepakat untuk tidak memasukan ketentuan alternative minimum tax (AMT) dalam agenda reformasi perpajakan tahun depan.
Hal tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Semula, saat RUU HPP bernama RUU tentang Perubahan Kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah menginisiasi AMT atau pajak penghasilan (PPh) sebesar 1% atas peredaran bruto dari wajib pajak yang merugi.
Anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI Said Abdullah mengatakan, banyak fraksi sepakat untuk mengeluarkan pengaturan tentang AMT dalam RUU HPP. Sebagai contoh, dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KUP yang Kontan.co.id himpun, Fraksi Partai Golkar menolak usulan AMT.
Baca Juga: Jelang dibawa ke paripurna DPR, alternative minimum tax dihapus dalam RUU HPP
Alasannya dengan adanya perhitungan usulan pengenaan AMT dari pemerintah, maka semua perusahaan, baik untung maupun rugi, harus membayar PPh minimun. Padahal untung dan rugi dalam kegiatan usaha adalah sesuatu yang normal.
“Karena didrop, maka tak ada lagi ketentuan tentang AMT. Semula pengaturan ini ditujukan untuk pengenaan pajak bagi perusahaan yang terus merugi, tetapi tetap bisa eksis,” kata Said kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10).
Sebelumnya, pemerintah dalam RUU KUP memberikan contoh, pada tahun pajak 2022 PT AMT memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 500 juta dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 20 juta.
Maka PT AMT memiliki PPh terutang 20% x Rp 500 juta, dengan penghasilan bruto sebesar Rp 4 juta. Dus, dengan skema AMT tarif 1% dikalikan Rp 500 juta. Oleh karena, pada Tahun Pajak 2022 PT AMT dikenai PPh minimum sebesar Rp 5 juta.
Baca Juga: Tarif program pengungkapan sukarela wajib pajak sudah pertimbangkan faktor-faktor ini
Said yang merupakan Anggota Fraksi PDIP menekankan, penghapusan klausul AMT berdasarkan pemikiran yang berkembang di Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI bersama pemerintah melihat trajektori pemulihan ekonomi menuju arah positif di tahun depan.
Setali tiga uang, atas dasar itu, tarif PPh Badan pada tahun depan tetap menjadi 22% atau tidak sesuai dengan janji pemerintah dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur tarif pajak korporasi turun menjadi 20% dari yang berlaku pada 2020-2021 sebesar 22%.
Makanya, bagi pemerintah dan DPR tak masalah menghapus AMT, apalagi rencana kebijakan tersebut bisa memantik kontroversi di tengah pemulihan ekonomi di tahun depan.
Dengan adanya kebijakan tarif PPh Badan yang tak berubah dari ketentuan saat ini, Said mengatakan pemerintah tetap bisa mendorong penerimaan pajak mencapai target di tahun-tahun mendatang.
“Kita juga ingin penerimaan perpajakan kita pulih, sehingga defisit APBN tidak melebar kembali karena tahun 2023 kita harus kembali ke defisit APBN 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB),” kata Said.
Selanjutnya: Gelar program pengungkapan sukarela wajib pajak, pemerintah tawarkan tarif 6%-18%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News