Reporter: Noverius Laoli | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Perseteruan antara Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya dengan praktisi psikolog Yon Nofiar terkait pemakaian merek Certified Human Resources Professional (CHRP) mencapai titik final. Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat memutuskan menolak gugatan Nofiar yang menuding Civitas Atma Jaya melakukan pelanggaran merek. Menurut majelis hakim, merek CHRP sudah menjadi merek umum sehingga tidak bisa dimiliki secara ekslusif.
Ketua majelis hakim, Gosen Butar Butar dalam putusannya menegaskan, Atma Jaya berhasil membuktikan dirinya pengguna pertama merek tersebut pada tahun 2006, kendati bukan pendaftar pertama merek CHRP di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). "Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," ujar Gosen dalam amar putusannya, Kamis (12/6).
Majelis hakim menjelaskan, Atma Jaya juga terbukti telah mempromosikan merek CHRP dengan adanya spanduk untuk diketahui publik. Dengan demikian, Majelis berpendapat justru Nofiar yang memiki itikad tidak baik mendaftarkan merek CHRP dan ingin memonopoli merek tersebut, kendati sudah mengetahui merek CHRP telah digunakan Atma Jaya. Selain memiliki itikad tidak baik, Nofiar, lanjut majelis hakim, telah mengetahui kalau merek CHRP telah menjadi milik umum, dan sama sekali tidak memiliki daya pembeda dengan merek CHRP yang didaftarkan Nofiar.
Majelis juga menilai, Nofiar tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya yang menuding Atma Jaya telah melakukan pelanggaran merek dan harus membayar ganti rugi materil sebesar Rp 7 miliar yang hitung dari 40% keuntungan Atma Jaya dari tahun 2006 sampai gugatan didaftarkan. Sementara majelis hakim menerima eksepsi Atma Jaya tapi menolak gugatan rekovensi untuk membatalkan merek CHRP milik Nofiar. Majelis berpendapat gugatan rekovensi Atma Jaya tidak memenuhi syarat.
Atas keputusan tersebut, kuasa hukum Nofiar, Kresna Guntanto mengatakan pihaknya akan mengajukan upaya hukum atas putusan tersebut. "Kami akan kasasi," ujarnya usai persidangan. Ia menilai, majelis hakim telah keliru dan khilaf dalam menjatuhkan putusan. Seharusnya perlindungan hukum diberikan kepada pemilik merek CHRP terdaftar. Putusan tersebut menurutnya menjadi preseden buruk bagi pemegang hak ekslusif merek terdaftar dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sementara itu, kuasa hukum Atma Jaya, Agustinus Prajaka mengaku senang atas putusan tersebut kendati majelis hakim tidak mengabulkan gugatan rekovensi untuk membatalkan merek CHRP milik Nofiar. "Ya kami merasa senang, karena CHRP memang bukan nama merek, tapi lebih pada program pelatihan, sehingga sudah menjadi milik publik," ujarnya usai persidangan. Ia mengatakan pihaknya siap meladeni jika Yon Nofiar mengajukan kasasi.
Praja menambahkan, Atma Jaya terbukti sebagai pengguna pertama merek CHRP dan terbukti tidak melakukan pelanggaran merek. Atma Jaya juga tidak perlu membayar ganti rugi sebesar Rp 7 miliar yang diklaim Yon Nofiar.
Sengketa ini bermula ketika Yon mendaftarkan gugatan pelanggaran merek pada Januari 2014 melawan Atma Jaya. Ia menuding Atma Jaya tidak memiliki izin darinya untuk menggunakan merek CHRP. Padahal, Yon mengatakan telah mendaftarkan merek tersebut pada 12 Februari 2007 di Ditjen HKI.
Sejak tahun 2006 hingga sekarang Yon mengaku terus melakukan pelatihan CHRP. Tujuannya untuk memberikan bekal pengetahuan keterampilan praktis pengelolaan sumber daya manusia di perusahaan yang meliputi Pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Resource Development), Upah dan Penghargaan (Compensation & Benefit), Hubungan Industrial (Industrial Relation) dan Suplemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Supplements).
Yon mengklaim mereknya telah dikenal luas oleh masyarakat melalui promosi secara gencar, antara lain dengan mengumumkan dan menawarkan jasa tersebut kepada masyarakat melalui situs internet.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News