Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Menjelang pertemuan puncak KTT G20, Greenpeace menggelar aksi damai bertajuk "Saatnya Transisi Energi Berkeadilan," di Bali pada Senin (14/11) malam.
Pesan ini ditujukan kepada pemimpin sejumlah negara yang sedang berkumpul di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, agar mereka mengambil komitmen yang nyata dan ambisius dalam merespons krisis iklim.
Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Sano mengatakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 di bawah Presidensi Indonesia merupakan kesempatan bagi negara-negara penyumbang emisi karbon terbesar untuk mendorong percepatan transisi energi berkeadilan secara konkret, terutama melalui pembiayaan transisi energi yang memadai.
Baca Juga: 25 Rekomendasi Kebijakan B20 untuk KTT G20
Pembiayaan tersebut diperlukan untuk pensiun dini PLTU batubara dan pengembangan energi bersih terbarukan.
'Para pemimpin G20 harus memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan iklim diterjemahkan ke dalam skema transisi energi yang cepat dan adil, yang akan menghapuskan semua penggunaan bahan bakar fosil,” kata Sano.
Sano melanjutkan, Negara G20 menyumbang hampir 80% dari emisi global. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk memastikan tercapainya target 1,5 derajat Celcius.
“Krisis iklim ada di sini, menghancurkan kehidupan, mata pencaharian, komunitas, dan budaya di seluruh planet ini. Waktu tidak ada di pihak kita; para pemimpin harus mengambil langkah berani sebelum kita berakhir dalam bencana iklim permanen," kata Sano.
Asal tahu saja, KTT G20 membahas tiga isu utama, salah satu diantaranya transisi energi. Kemungkinan besar, KTT G20 akan menyepakati skema kemitraan pembiayaan transisi energi di Indonesia, yang sebagian besar akan digunakan untuk mempensiunkan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Menurut Greenpeace, Indonesia yang memegang presidensi G20 masih setengah hati dalam melakukan transisi energi. Dalam Rencana Umum Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL), Indonesia masih akan menggunakan batubara, paralel dengan phase out secara bertahap hingga tahun 2056.
Di sisi lain, pembangunan PLTU baru sebesar 13,8 GW atau sekitar 42% dari kapasitas PLTU terpasang masih akan terus berlangsung. Kebijakan ini kontradiktif dengan kebutuhan akselerasi transisi energi untuk menghentikan krisis iklim dengan mencegah kenaikan suhu global melampaui 1,5 derajat Celcius sesuai isi Perjanjian Paris.
Sudah saatnya negara-negara di dunia segera meninggalkan energi fosil dan mempercepat transisi energi untuk menghentikan krisis iklim. Panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menegaskan bahwa setidaknya dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 jika tak ingin terjebak krisis iklim.
"Transisi energi merupakan hal yang pasti saat ini, negara-negara di seluruh dunia akan bergerak ke arah tersebut, termasuk Indonesia. Namun, perlu digarisbawahi, kita harus mempercepat transisi tersebut untuk mencegah dampak krisis iklim yang sudah terlalu besar bagi lingkungan, manusia, dan kesejahteraan. G20 memiliki tanggung jawab untuk itu,” ujar Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia Tata Mustasya.
Baca Juga: Bakal Pensiunkan 2 GW PLTU, Pemerintah Gelontorkan US$ 500 Juta
Pemerintah Indonesia telah menyampaikan rencananya untuk melakukan pensiun dini 9,2 GW PLTU Batubara dengan bantuan internasional pada tahun 2029, di mana 3,7 GW akan digantikan pembangkit listrik terbarukan. Janji ini disampaikan dalam Climate Change Conference (COP) 26 di Glasgow pada 2021, selaras dengan penandatanganan Global Coal to Clean Power Transition Statement yang menyetujui penghentian penggunaan batubara pada 2040.
Perlu dipastikan agar transisi energi yang akan dilakukan baik oleh Indonesia maupun negara G20 lainnya bebas dari solusi palsu, seperti co-firing dan clean coal technology yang akan memperlambat transisi energi.
“Proses dan mekanisme peralihan ini juga harus melibatkan partisipasi publik, memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan. G20 harus menjadi solusi untuk akselerasi transisi energi, misalnya melalui platform pembiayaan,” kata Tata.
Jika elemen-elemen tersebut hilang, maka pengembangan energi terbarukan justru tak ada ubahnya dengan energi fosil yang selama ini dikuasai oleh segelintir elite.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News