Reporter: Barly Haliem, Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pagebluk corona (Covid-19) mengancam fundamental ekonomi Indonesia. Kalangan dunia usaha berteriak dan mengaku staminanya bakal habis sampai Juni, apabila pemerintah tak merelaksasi kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca Juga: Dunia usaha mendapatkan cadangan insentif pajak Rp 26 triliun
Apalagi di saat yang sama, insentif yang digelontorkan dianggap tidak maksimal. Bahkan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Gita Wirjawan menilai, kebijakan pemulihan ekonomi masih bersifat diskriminatif terhadap sektor swasta.
Padahal, kata Gita, serangan Covid-19 tidak pandang bulu dan menghantam kalangan manapun, termasuk pengusaha swasta yang selama ini berperan penting dalam mendorong roda ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Perry Warjiyo: BI sudah lakukan quantitative easing sebesar Rp 583,8 triliun
Di saat negara-negara tetangga menggelontorkan lebih dari 10% dari produk domestik bruto (PDB) untuk memulihkan perekonomian, menurut Gita, Indonesia baru menyiapkan 2,5% dari PDB.
"Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini," ungkap mantan Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhonoyo (SBY) itu.
Melalui opini berjudul "Swasta Juga Perlu Diperhatikan" yang dikirimkan kepada Kontan.co.id, berikut ini pandangan Gita Wirjawan seputar kebijakan pemerintah terkait pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
Penerimaan pajak sudah beranjak 15 kali lipat dari Rp 116 triliun di tahun 2000 menjadi Rp 1.786 triliun pada tahun 2019. Kenyataan yang indah ini kental dengan kebijakan fiskal pemerintah yang semakin prudent, proaktif, inklusif dan tepat sasaran dalam merangsang pembayar pajak, termasuk individu dan dunia usaha.
Baca Juga: Penerimaan pajak Rp 20 triliun bakal melayang karena penurunan tarif PPh badan
Memang tidak bisa dipungkiri peran swasta atau dunia usaha, yang merupakan 87% dari kue ekonomi atau PDB Indonesia sebesar Rp 16.000 triliun (13% peran APBN). Hal tersebut sangat menopang pertumbuhan sehingga Indonesia menjadi ekonomi terbesar nomor 17 di dunia (salah satu anggota dari grup prestisius G-20).
Dunia usaha yang terdiri dari UMKM, BUMN dan non-BUMN bukan hanya berperan dalam mengisi ruang fiskal lewat pembayaran pajak, namun juga dalam beberapa hal lainnya termasuk:
- Pemberdayaan tenaga kerja (95% dari seluruh 130 juta tenaga kerja berdaya di sektor UMKM;
- *Produksi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas di tanah air dan juga diekspor ke luar negeri;
- *Persaingan terhadap industri di negara-negara tetangga yang mencari pangsa pasar internasional yang sama.
Baca Juga: Ini rincian alokasi belanja negara senilai Rp 427,46 triliun untuk pemulihan ekonomi
Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 sangat mulia dengan semangat memuat unsur keadilan sosial, kaidah kebijakan yang penuh dengan prinsip kehati-hatian dan dukungan untuk pelaku usaha.
Salah satu isu atau concern yang tersirat dalam PP No 23/2020 tersebut adalah perhatian yang cukup besar diberikan terhadap para UMKM dan khususnya untuk kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN sebesar hampir Rp 400 triliun.
Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah, sehingga risiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.
Sikap pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (non UMKM dan BUMN), yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Hore! paket Bansos Tahap 2 mengalir di Jakarta, cek nama Anda dan simak tanggalnya
Covid-19 sangat tidak pandang bulu, warna kulit, agama, geografi, ketenaran, kekuatan fisik maupun keuangan. Sikap Covid-19 yang sangat non-diskriminatif ini justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun policy response yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif. Ini bukan semata hanya untuk kepentingan survival, tapi yang lebih penting lagi adalah untuk bisa lebih bersaing di kemudian hari.
Sangat disayangkan apabila dunia usaha swasta sebagai salah satu motor ekonomi yang telah membantu mendongkrak ruang fiskal sebesar 15 kali dalam 20 tahun terakhir dengan mudahnya dianggap mampu untuk membantu dirinya sendiri.
Kesalahan logika tersebut sangat riskan dan akan tecermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing dan kapasitas peningkatan ruang fiskal di kemudian hari.
Baca Juga: Catat! Pendaftaran Kartu Prakerja gelombang 4 dibuka 26 Mei 2020
Di saat negara-negara tetangga menggelontorkan lebih dari 10% dari PDB untuk kepentingan pemulihan ekonominya, Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN (43% dari perekonomian ASEAN) baru menyiapkan 2,5% dari PDB-nya. Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi saat ini. Hal yang lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai ke mana kita mau mengarahkan perekonomian kita di kemudian hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News