Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mendorong penggabungan batasan produksi rokok buatan mesin Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Alasannya, perusahaan rokok besar asing multinasional masih memanfaatkan tarif cukai yang murah untuk merebut pasar.
"Pabrik multinasional yang punya SPM dan SKM itu harus digabung. Supaya produksi SPM dan SKM nanti jadi 3 miliar batang kan, masuknya ke golongan 1," kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto dalam siaran persnya, Senin (17/3).
Dengan penggabungan ini, Heri menjelaskan, pabrikan multinasional yang total produksinya mencapai 3 miliar batang per tahun dari rokok buatan mesin SPM dan SKM, harus membayar tarif cukai golongan 1 pada masing-masing segmennya.
"Pengabungan SKM dan SPM supaya pabrik-pabrik besar yang punya brand internasional mainnya tidak seperti sekarang, ada yang golongan satu dan ada yang golongan dua. Dengan digabung, semua pabrik besar, apalagi pabrikan asing, harus naik ke atas masuk golongan 1," tegasnya.
Penggabungan batas produksi rokok buatan mesin ini juga untuk menciptakan aspek keadilan dalam berbisnis di industri hasil tembakau, terutama akan melindungi pabrikan rokok kecil untuk bersaing langsung dengan pabrikan rokok besar asing.
Masalahnya, peraturan cukai yang ada saat ini dimanfaatkan pabrikan besar asing untuk memproduksi rokok bertarif cukai yang sama dengan pabrikan kecil. “Pabrikan asing besar yang masuk ke Indonesia memanfaatkan tarif layer-layer kecil yang murah untuk merebut pasarnya. Mereka berlindung ke dalam peraturan cukai," kata dia.
Heri meneruskan tarif cukai di segmen SPM memiliki ketimpangan sosial sehingga menekan pabrikan kecil. Pada golongan 1 di segmen rokok mesin SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) menggunakan tarif cukai Rp 625 per batang. Namun untuk golongan 2A, produk rokok mesin SPM Mevius milik Japan Tobacco Indonesia, memakai tarif Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
"Formasi melihat bahwa ini ada ketimpangan sosial. Dikatakan Mevius tidak memakan pangsa pasar kami itu sudah sangat keterlaluan karena pasar kita juga menggunakan tarif Rp 370 per batang. Sama tarifnya, kita kalah, kan mereka raksasa," tegasnya.
Tak hanya Mevius, produk SPM milik perusahaan besar asing lainnya turut menikmati tarif murah. Lucky Strike dan Dunhill yang diproduksi oleh Bentoel grup atau British American Tobacco serta Esse Blue yang dibuat oleh Korean Tobacco Grup Indonesia juga menggunakan tarif Rp 370 per batang. "Itu juga perusahaan asing dan golongan gede. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," katanya.
Permasalahan tarif murah juga terjadi di segmen SKM. A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) yang masuk dalam golongan I, menggunakan tarif Rp 590 per batang. Namun produk SKM milik Korean Tobacco, Esse Mild, memakai tarif golongan 2 sebesar Rp 385 per batang.
Heri juga mewanti-wanti untuk segmen rokok buatan tangan SKT atau Sigaret Kretek Tangan. Sebab, segmen ini berkaitan dengan tenaga kerja manusia yang tidak tergantikan oleh mesin.
Contohnya pada SKT, Dji Sam Soe Kretek dari PT HM Sampoerna tarifnya Rp 365 per batang (golongan 1A). Adapun pada golongan 1B, Gudang Garam Merah dari PT Gudang Garam dan Djarum Coklat serta 76 dari PT Djarum, memakai tarif Rp 290 per batang (golongan 1B).
Akan tetapi, rokok SKT merk Apache Kretek yang diproduksi oleh PT Karyadibya Mahardhika (anak perusahaan Japan Tobacco Internasional) menggunakan tarif Rp 180 per batang (golongan 2).
Karena itu, Formasi tetap pada usulannya, meminta penggabungan batas produksi rokok buatan mesin SPM dan SKM tetap dilaksanakan. Sehingga, tidak terjadi penyelundupan dari perusahaan besar multinasional menggunakan tarif yang murah. "Selain itu, fairness daripada kebijakan yang gede lawan gede, yang kecil lawan kecil," tegasnya.
Jika tidak terjadi, pabrikan rokok kecil akan tergilas dengan pabrikan yang memproduksi rokok mesin SPM dan SKM yang secara faktual tergolong besar. Dari sisi manajemen, alat produksi, SDM, pemasaran, jaringan, pabrikan rokok multinasional jelas lebih unggul, sehingga akan berdampak pada berhentinya kelangsungan usaha pabrikan kecil di golongan 2 dan 3.
Formasi, juga mengusulkan agar pemerintah mewajibkan harga transaksi pasar (HTP) terendah adalah 100% dari harga jual eceran (HJE) yang tercantum dalam pita cukai yang melekat di bungkus rokok.
Ketentuan saat ini, pabrikan rokok bisa menjual rokok dengan HTP sebesar 85% minimum dari HJE. Pabrikan yang menjual di bawah 85% HJE juga masih dianggap tidak melanggar apabila praktek ini dilakukan di tidak lebih dari 40 kota, seperti yang tercantum di Perdirjen Bea Cukai no. 37 tahun 2017.
"Ketentuan ini memukul pabrikan rokok kecil, karena distribusi kami tidak seluas perusahaan besar. Pangsa pasar kami juga bersaing langsung di 40 kota dimana pabrikan besar menjual rokok di bawah 85% HJE. Dan ini dibolehkan dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai itu," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pihaknya akan tetap menutup celah bagi pabrikan rokok yang masih membayar cukai di golongan tarif lebih murah. “Mengenai simplifikasi atau bracket yang kami kemarin hold. Tetapi kami akan tetap fokus bagaimana mengurangi kelompok industri yang kemudian lari ke kelompok lain atau melakukan evasion atau penghindaran,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News