Reporter: Venny Suryanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Keuangan menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2021 sebesar 5%. Hal ini sebagaimana asumsi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2021 yang telah disepakati oleh DPR RI.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan mengatakan, terkait dengan postur APBN 2021 untuk penanganan Covid-19 banyak menimbulkan janji-janji palsu pemerintah. Terutama terjadi pada bidang kesehatan dan ekonomi. “Meksipun APBN 2021 sudah disepakati antara DPR dan pemerintah, kami menyampaikan hasil analisis kami yang kita elaborasi lebih jauh terkait APBN 2021,” jelasnya dalam konferensi pers secara daring, Kamis (8/10).
Ada sembilan hal yang menjadi sorotan Fitra. Pertama, penetapan pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah sebesar 5% dinilai hanya sebagai pencitraan. Menurutnya, ini menjadi proyeksi yang terlalu optimis atau terlalu ambisius terutama di tengah resesi ekonomi. “Ada kesan pencitraan yang menunjukkan kalau Indonesia mampu menangani Covid-19 dan bisa tumbuh hingga 5%. Padahal di kuartal 2-2020 pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi hingga 5,32% dan kuartal 3-2020 diprediksi -3%,” katanya.
Baca Juga: Pengamat menilai UU Cipta Kerja beri keuntungan pajak bagi WNA
Kedua, optimalisasi pendapatan dan efisiensi belanja yang menurutnya RAPBN selalu direncanakan defisit bahkan lebih besar di masa pandemi Covid-19. Sebab RAPBN 2021 disusun dengan defisit yang mencapai Rp 971,2 triliun atau 5,50% dari PDB dan ditetapkan menjadi Rp 1.006,4 triliun atau defisit 5,70% terhadap PDB pada tahun 2021.
“Ini tidak lepas dari proyeksi pendapatan yang dipatok Rp 1.743,6 triliun dengan belanja negara Rp 2.750 triliun. Sehingga terlihat bahwa defisit dipengaruhi oleh kontraksi di pendapatan negara pada tahun 2020 serta belum dilakukannya efisiensi untuk belanja malah justru naik Rp 2.750 triliun,” tandasnya.
Ketiga, realisasi penerimaan perpajakan selalu di bawah target. Menurut analisanya, dari tahun 2017 sebelum Covid-19 penerimaan perpajakan belum pernah mencapai target apalagi di masa-masa Covid-19 saat ini.
Menurutnya, sebelum adanya Covid-19 rata-rata penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara sebesar 80% dari total pendapatan negara. “Tahun 2021, justru malah diproyeksi hingga 82,6%. Ini menurut saya bisa dibilang memberikan janji palsu terkait penerimaan pajak. Karena faktanya hingga Agustus 2020 proporsi penerimaan perpajakan baru 46,9% dari pendapatan negara. Artinya penerimaan pajak dari Januari-Agustus 2020 hanya 6,7% per bulan. Sehingga perkiraan kami penerimaan perpajakan hanya 73,7%,” jelasnya.
Baca Juga: Wamendag sebut transaksi cashless bisa pulihkan dan perluas akses perdagangan
Keempat, penerima insentif usaha sering tidak tepat sasaran. Menurutnya, anggaran untuk insentif usaha sebesar Rp 120,61 triliun dalam PEN tahun 2020 justru menurun Rp 100 triliun pada tahun 2021 sehingga hanya Rp 20,40 triliun. “Ini artinya mengasumsikan insentif di dunia usaha seperti relaksasi pajak dianggap sudah efektif tahun 2020 ini. Padahal banyak dunia usaha yang masih terpengaruh apalagi pada masa PSBB,” jelasnya.
Kelima, BUMN berkontribusi sangat signifikan terhadap pendapatan negara. Sehingga dalam kurun waktu 10 tahun terakhir BUMN seakan menjadi beban apalagi ditengah Covid-19. Keenam, Kesehatan selalu menjadi prioritas utama tetapi belanja fungsi ekonomi lebih tinggi dibanding belanja fungsi kesehatan. Sehingga, perlu dijadikan catatan bahwa ini menjadi janji palsu pemerintah dalam penanganan Covid-19.
Ketujuh, belanja infrastruktur justru lebih tinggi sedangkan belanja modal untuk fasilitas dan sarana pelayanan kesehatan lebih rendah. Menurutnya, dalam APBN 2021, belanja modal untuk program peningkatan kualitas fasilitas dan sarana kesehatan tidak meningkat signifikan. Melainkan untuk mendukung agenda digitalisasi serta pembangunan infrastruktur perekonomian di kawasan perbatasan, tertinggal dan wilayah 3T.
Baca Juga: Pemerintah menjual SUN Rp 46,2 triliun ke Bank Indonesia (BI) untuk burden sharing
Kedelapan, utang negara dianggap masih aman tetapi justru malah semakin membebani APBN. Sehingga, pemerintah selalu beranggapan bahwa pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempercepat penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. “Utang kita semakin meroket dari Rp 402,1 triliun di tahun 2019 menjadi Rp 1.225,5 triliun pada 2020. Di tahun 2021 rencana pembiayaan utang Rp 1.142,5 triliun,” tandasnya.
Kesembilan, anggaran untuk penanganan Covid-19 masih belum responsive gender dan masih sangat minim. Bahkan menurutnya, insentif tenaga medis menunjukkan adanya diskriminasi terhadap mereka yang berada di baris terdepan. “Insentifnya relatif kecil yakni Rp 7,5 juta per bulan untuk perawat, tenaga medis Rp 5 juta per bulan dibandingkan dengan dokter spesialis lainnya yang Rp 15 juta per bulan,” katanya.
Sehingga, Misbah berharap pemerintah perlu melakukan rasionalisasi lagi terhadap asumsi dasar ekonomi makro 2021. Sehingga APBN 2021 akan diubah dengan porsi yang lebih rasional.
Selanjutnya: BPN: UU Cipta Kerja memungkinkan negara sediakan rumah rakyat gratis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News