kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Pengamat menilai UU Cipta Kerja beri keuntungan pajak bagi WNA


Kamis, 08 Oktober 2020 / 16:51 WIB
Pengamat menilai UU Cipta Kerja beri keuntungan pajak bagi WNA
ILUSTRASI. Petugas pajak (kanan) melayani warga saat peringatan Hari Pajak 2020 di KPP Wajib Pajak Besar Satu, Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (14/7/2020).


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai melalui beleid Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, warga negara asing (WNA) akan diuntungkan terkait dengan pemberlakuan subjek pajak dalam negeri (SPDN) yang sebelumnya menggunakan worldwide system menjadi territorial system.

Pengamat Pajak CITA Fajry Akbar mengatakan, keuntungan yang didapatkan oleh WNA yakni kepastian perpajakan, khususnya bagi tenaga ahli asing di Indonesia.

Sebab, dalam beleid sapu jagad tersebut disebutkan, untuk WNA dengan keahlian tertentu dikenakan pajak penghasilan dari atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia saja, di empat tahun pertama.

Kata Fajry hal itu tentu akan berpengaruh pada ekonomi digital Indonesia yang saat ini sedang tumbuh. Namun, mengingat tenaga ahli di Indonesia tidak mencukupi, maka butuh tenaga dari luar.

Baca Juga: UU Cipta Kerja sisipkan pasal-pasal perpajakan, ini kata pengamat

“Makanya bisa dilihat banyak software engineer start-up yang berasal dari India atau Bangladesh. Kita tak bisa menutup mata akan hal ini. Dengan adanya kepastian perpajakan ini, tentunya iklim investasi digital akan naik, karena aksesibilitas dari SDM lebih mudah,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (8/10).

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, kebijakan tersebut diambil sejalan dengan perubahan ketentuan subjek pajak orang pribadi (SPOP) dari rezim worldwide system menjadi territorial system.

“WNA yang lebih dari 183 hari di Indonesia mereka menjadi subjek pajak di dalam negeri. PPh WNA yang merupakan subjek pajak dalam negeri itu adalah berdasarkan penghasilan mereka yang dari Indonesia. Jadi kita tidak memajaki apabila WNI memiliki penghasilan yang bersumber dari luar negeri, jadi hanya pendapatan yang dari Indonesia,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Rabu (7/10).

Baca Juga: Ini masalah yang dihadapi industri ritel di tengah pandemi Covid-19

Di sisi lain, Menkeu juga mengatakan melalui territorial system, untuk warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri kurang dari 183 hari maka akan menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN), dengan syarat tertentu.

Sri Mulyani menegaskan, territorial system membuat sistem perpajakan menjadi lebih adil.  “Ini yang disebut prinsip territorial, di mana mereka berada di situ mereka dipajak,” ujar Menkeu.

Selanjutnya: Sanksi bunga atas kekurangan bayar pajak diatur ulang, begini hitungannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×