Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) tidak bisa dilepaskan dari kinerja yang telah dilakukan oleh presiden sebelumnya. Bahkan 80% program Nawa Cita yang menjadi fokus pemerintahan lima tahun mendatang, sebenarnya sudah ada dalam program presiden terdahulu, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ataupun Soeharto.
Nawa Cita adalah sembilan agenda prioritas Jokowi-JK dalam lima tahun mendatang. Program ini digagas untuk menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Jokowi-JK akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI ketujuh pada Senin, 20 Oktober 2014 besok.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Freddy H Tulung mengatakan, kebijakan-kebijakan yang akan dan sudah dilakukan pemerintah merupakan pembangunan berkesinambungan. "Tidak semua harus dimulai dari nol," katanya dalam diskusi dan rilis buku infografis, "Growing, Meretas Jalan Kejayaan", pada Jumat (17/10).
Dia mencontohkan, walau target penurunan angka kemiskinan 2014 menjadi 8% tidak tercapai, karena sampai Maret 2014 angka kemiskinan Indonesia masih di level 11,25%. "Namun harus diakui telah terjadi penurunan angka kemiskinan dari tahun 2004 lalu," katanya. Pada 2004 angka kemiskinan di Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa. Turun menjadi 28 juta jiwa pada 2013.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmansyah mengatakan, kesinambungan pembangunan sudah menjadi komitmen bersama. Bahkan dirinya mengaku telah bertemu dengan Tim Transisi Jokowi, yang intinya akan tetap melanjutkan berbagai kebijakan sebelumnya, seperti dalam pembangunan infrastruktur. "Mereka juga punya komitmen yang sama dalam infrastruktur, seperti pembangunan waduk dan jembatan," katanya.
Firmanzah menambahkan, sudah bukan saatnya lagi bagi pengusaha Indonesia untuk sibuk berkeluh kesah. Apalagi terus menghubung-hubungkan antara apa yang terjadi di perekonomian Indonesia dengan kondisi politik dalam negeri.
Menurutnya masyarakat Indonesia saat ini sudah overpolitize. Sehingga apapun yang sebenarnya tidak berhubungan dengan politik, dihubung-hubungkan dengan kisruh politik yang terjadi. "Seperti penurunan nilai mata uang rupiah dan keluarnya investor dari Indonesia. Itu tidak ada hubungannya dengan politik," katanya.
Dia menyesalkan banyaknya akademisi dan profesional yang kemudian ikut tertarik dalam dunia politik dan menjadi partisan. Menurutnya tarikan politik yang besar itu telah menghancurkan profesionalisme dan akademisi. Firmansyah mencontohkan dengan apa yang terjadi di Universitas Indonesia (UI) yang terpecah menjadi dua kubu, pendukung Jokowi dan Prabowo. "Jangan inferior di depan politik," tegasnya.
Sementara itu Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berharap kisruh politik yang terjadi saat ini bisa segera mereda. Dia juga mengapresiasi pertemuan yang dilakukan Jokowi kepada beberapa ketua partai, seperti Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto. "Pertemuan itu mencairkan suasana," katanya.
Dengan kondisi politik yang main baik, Juhro meminta, agar parpol-parpol yang ada di Indonesia bisa menjadi aset negara dan pilar demokrasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News