Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah perlu terus menyempurnakan regulasi perpajakan digital demi mengejar pesatnya pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, menilai langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menyesuaikan aturan digital merupakan langkah tepat dan sudah waktunya dilakukan.
Menurutnya, ekonomi digital Indonesia sudah jadi bagian integral dari perekonomian global. Tahun 2024 nilainya mencapai US$ 90 miliar, naik 13% dibanding 2023. Bahkan diperkirakan akan tembus US$ 146 miliar pada 2025, dan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Di sisi lain, regulasi yang sudah ada, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Menter Keuangan (PMK) 48/2020, terbukti mampu mendongkrak penerimaan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dari hanya Rp 731 miliar pada 2020 menjadi Rp 8,44 triliun pada 2024.
Layanan OTT, fintech, pembayaran digital, SaaS, platform digital, transaksi kripto hingga sistem pengadaan pemerintah jadi penyumbang utamanya.
Namun, menurut Ariawan, masih banyak celah yang bisa dioptimalkan. Salah satunya dengan meninjau kembali ambang batas penunjukan pemungut PPN PMSE.
"Ambang Rp 600 juta per tahun mungkin dapat diturunkan untuk menangkap lebih banyak transaksi digital skala menengah atau kecil yang saat ini tidak terjaring. Ini dapat meningkatkan basis PPN digital," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (24/6).
Baca Juga: DJP Rancang Aturan Baru, Layanan Digital Ini Bakal Kena Pajak
Ia juga menyarankan penguatan pemotongan PPh final 0,5% hingga 1,5% untuk penjual online kecil di e-commerce domestik agar perluasan penerimaan makin terasa.
Ariawan menyoroti empat sektor yang dinilai memiliki potensi pajak besar, tapi belum tergarap optimal.
1. Aset Kripto
Meski sudah dikenai PPN dan PPh berdasarkan UU HPP dan PMK 68/2022, tingkat kepatuhan investor masih rendah. Penyebabnya, minimnya pemahaman pajak, sistem pelaporan yang rumit, serta belum maksimalnya integrasi data dengan platform kripto.
2. Fintech P2P Lending
Sektor ini menyumbang Rp 3,28 triliun pajak per Maret 2025 dan bisa jadi model sukses bagi subsektor fintech lain seperti insurtech, wealthtech, penilaian kredit alternatif, dan regtech.
"Ini menunjukkan potensi basis pajak yang lebih luas dari yang diperkirakan sebelumnya," katanya.
Baca Juga: Ditjen Pajak Rampungkan Aturan Baru Pajak Transaksi Digital, Ini Bocorannya!
3. Ekonomi Gig (Gig Economy)
Riset IEF menunjukkan potensi penerimaan dari sektor ini antara Rp 28 triliun hingga Rp 75 triliun per tahun, jika dikenakan PPh 5%–10%.
Menurutnya, sektor seperti ride hailing, freelance, pengiriman makanan, hingga micro task masih sulit diawasi karena minimnya NPWP, perlindungan sosial rendah, dan sifat pendapatan yang fluktuatif.
Ariawan menegaskan, hal tersebut yang harus diformulasikan menjadi kebijakan oleh pemerintah, termasuk DJP dalam konteks untuk pengenaan pajaknya. Sebab, bukan tidak mungkin para freelancer dan gig worker tidak mencantumkan NPWP atau tidak dilaporkan.
"Karena sistem pajak kita self-assessment, ini menyulitkan pendeteksian dan pemotongan pajaknya," kata Ariawan.
4. Artificial Intelligence (AI)
Perkembangan AI belum tergarap dari sisi pajak. Ariawan menilai, pemerintah harus lebih sigap menangkap peluang ini sebagai sumber baru penerimaan negara.
Selanjutnya: Buyung Poetra (HOKI) Targetkan Pertumbuhan Penjualan 10% pada 2025, Begini Caranya
Menarik Dibaca: Tiga Perilaku Bias yang Harus Dihindari dalam Berinvestasi, Agar Mental Sehat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News