Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dalam kondisi ekonomi yang menantang, masyarakat tidak berhenti berbelanja. Sebaliknya, banyak yang beralih membeli barang-barang kecil yang memberikan rasa puas atau kebahagiaan instan.
Fenomena ini dikenal sebagai lipstick effect, di mana konsumen tetap berburu barang-barang terjangkau seperti lipstik, parfum, kopi spesial, atau produk kecantikan lainnya.
Fenomena ini mencerminkan bahwa meskipun pengeluaran untuk barang besar atau mewah menurun, masyarakat tetap ingin memanjakan diri melalui pembelian kecil sebagai cara mengatasi tekanan ekonomi.
Baca Juga: Intip Bahaya Lipstik Effect, Glamor di Tengah Krisis Ekonomi
Perubahan Pola Konsumsi
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman menjelaskan bahwa lipstick effect dan doom spending mencerminkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan peningkatan pembelian barang-barang mewah untuk kepuasan pribadi dan belanja impulsif.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada Maret 2024 meningkat menjadi Rp1.500.556 dibandingkan Rp1.451.870 pada Maret 2023.
Kenaikan ini disebabkan oleh pengeluaran untuk makanan yang naik 5,69% dan bukan makanan sebesar 1,10%.
“Kenaikan ini mengindikasikan peningkatan konsumsi pada barang-barang non-esensial,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Baca Juga: Lipstick Effect: Pengertian, Hubungan Kondisi Ekonomi, dan Bahaya di Masa Depan
Rizal juga mencatat bahwa konsumsi rumah tangga tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada kuartal III 2024, konsumsi rumah tangga menyumbang 53,08% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan pertumbuhan 4,91% year-on-year.
Namun, ia mencatat pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya, mengindikasikan perubahan pola konsumsi masyarakat.
“Pergeseran menuju konsumsi barang mewah dan belanja impulsif dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang kurang produktif, yang dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ungkap Rizal.
Risiko Finansial dan Pentingnya Literasi Keuangan
Dari sudut pandang individu, Rizal menilai peningkatan perilaku konsumsi yang tidak terkontrol dapat memicu masalah keuangan, seperti meningkatnya utang rumah tangga dan berkurangnya tingkat tabungan.
Baca Juga: Daya Beli Kelas Menengah Melamban, Tapi Pengeluaran Makan di Luar Tetap Berjalan
“Hal ini mengurangi kemampuan individu untuk menghadapi situasi darurat finansial dan menghambat investasi dalam aset produktif,” tambahnya.
Oleh karena itu, Rizal menekankan pentingnya edukasi literasi keuangan yang lebih intensif untuk mendorong masyarakat mengelola konsumsi secara bijak.
Literasi ini diharapkan dapat memastikan stabilitas finansial masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Selanjutnya: Simak Tren Utama Pasar Kripto di 2025, Ada Bitcoin hingga Token RWA
Menarik Dibaca: 12 Cara Tercepat Menurunkan Gula Darah Tanpa Insulin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News