Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Cerita yang sama juga terjadi pada 2017 lalu, dari 73 perusahaan yang keluar dari Jepang, China, dan Singapura, sebanyak 43 perusahaan di antaranya memilih berlabuh di Thailand, 11 perusahaan ke Filipina, dan hanya 10 perusahaan ke Indonesia.
“Setelah AS mengenakan tarif impor mesin cuci di China pada 2016, pabrik-pabrik mesin cuci asal Korea pindah ke Vietnam dan Thailand hanya dalam kurun satu bulan sehingga ekspor di kedua negara itu melonjak,” terang Bank Dunia.
Baca Juga: Wow, pendapatan royalti Korea Selatan dari K-Pop di luar negeri melonjak 140%
Bank Dunia menilai, fenomena ini terjadi lantaran negara-negara lain jauh lebih ambisius dalam mereformasi iklim investasi mereka. Sementara, ekspor Indonesia dinilai kurang kompetitif lantaran mayoritas barang input dikenakan bea masuk, misalnya tarif impor 15% untuk ban, 10% untuk penyala kabel dan mesin petrol, dan 15% untuk koil dan baut.
Indonesia juga dianggap kekurangan insinyur produksi (production engineers), insinyur pemrosesan (process engineers), insinyur desain (design engineers), serta sumber daya manusia lain di bidang perencanaan produksi dan kontrol inventori.
“Restriksi FDI melalui aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) membuat biaya logistik lebih tinggi dan tarif listrik lebih mahal, kurang bersaing dibanding negara tetangga lainnya,” ujar Bank Dunia.
Baca Juga: Jokowi sedih, 33 perusahaan hengkang dari China tapi tak ada yang masuk Indonesia
Persoalan ini pun sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Kemarin, Jokowi kembali mempermasalahkan masih belum beresnya masalah regulasi yang berbelit membuat industri enggan masuk ke Indonesia.
"Seminggu lagi kita akan bicara mengenai masalah bagaimana segera menyederhanakan peraturan yang menghambat dan memperlambat," kata Jokowi dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Rabu (4/9) kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News