Reporter: Venny Suryanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Senior Institute for Development of Economics (Indef) Faisal Basri mengatakan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kemudahan berusaha lewat Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kerap menjadi masalah klasik yang sebetulnya sudah berlangsung puluhan tahun.
Sebab, pemerintah sejak dulu justru menyodorkan sejumlah praktik yang menyulitkan adanya usaha seperti banyaknya jenis perizinan, peraturan yang berbelit dan tumpang tindih hingga daerah yang dipersulit melakukan pengurusan izin.
“Namun, mengapa baru sekarang diklaim sebagai penyebab kemerosotan investasi dan pertumbuhan ekonomi?,” tanya Faisal Basri dalam keterangan blog-nya, Jumat (9/10).
Baca Juga: Jokowi minta yang keberatan UU Cipta Kerja ajukan uji materi ke MK
Faisal menilai, dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa lalu hanya 8%, 7%, dan 6%. Mengapa juga baru lima tahun terakhir lini sebelum terjadi wabah COVID-19 pertumbuhan justru malah mentok di atas 5%.
Faisal juga mengkritik bahwa, sejak dilantik pada Oktober 2014, Presiden Jokowi berulang kali menyampaikan tekatnya untuk menyederhanakan perizinan usaha.
“Ia meminta seluruh jajaran pembantunya untuk bekerja keras meningkatkan peringkat kemudahan berbinis (Ease od Doing Business/IoDB) yang setiap tahun diterbitkan oleh Bank Dunia,” katanya.
Padahal, ketika dilantik, Indonesia berada di peringkat ke-120 dimana angka ini terlampau jauh dari Singapura di peringkat pertama, Malaysia di peringkat ke-6, Thailand ke-18 dan Vietnam di urutan ke-99.
“Presiden menargetkan Indonesia masuk peringkat ke-40,” tandasnya.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia ingin tingkatkan kemudahan berusaha lewat RUU Cipta Kerja
Faisal bilang, untuk mencapai target 40 besar memang belum tercapai. Namun, sebenarnya dengan sedikit tambahan kerja keras, peringkat ke-40 sangat mungkin terwujud dalam waktu yang tak terlalu lama lagi lewat lima kunci dengan memperbaiki komponen IoDB.
Pertama adalah membenahi hambatan perdagangan lintas batas (“Trading across borders”). Komponen ini dinilai mengalami pemburukan dari urutan ke-54 pada 2014 menjadi ke-116 pada 2019 dan 2020.
“Kembalikan saja ke posisi tahun 2014, ceteris paribus, niscaya peringkat Indonesia bakal naik lumayan,” katanya.
Kedua dan ketiga adalah perbaiki komponen “Dealing with construction permit” dan “Registering property” dengan penyederhanaan persyaratan dan memperpendek waktu pengurusan.
Baca Juga: Morgan Stanley: Indonesia bisa jadi negara berbasis ekonomi digital terbesar di dunia
“Agaknya tak terlalu sulit untuk melakukan hal itu karena hanya menyangkut beberapa instansi. Kedua komponen ini juga mengalami pemburukan,” jelasnya.
Keempat dan kelima, percepat proses perbaikan yang sudah terjadi untuk komponen “Starting business” dan “Enforcing contracts” agar keduanya menembus peringkat di bawah 100.
Sehingga, sangat disayangkan kalau saat ini pemerintah terlalu terburu-buru untuk menggapai sesuatu yang hampir dalam genggaman.
“Mengapa berjudi dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang melebar ke mana-mana sehingga berisiko memorakporandakan kemajuan yang sudah di jalur yang benar. Mengapa harus pindah jalur? Mengapa harus memecah-belah masyarakat? Mengapa pemerintah menempuh langkah zero sum game dengan semua keuntungan diberikan kepada pengusaha (terutama pengusaha besar) dengan merugikan pekerja, masyarakat, dan pemerintah daerah?,” tutupnya.
Selanjutnya: Syarat penguasaan tanah 50% untuk KEK beri kepastian kegiatan usaha jalan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News