Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang direncanakan naik dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 dinilai akan semakin membebani masyarakat.
Ekonom Senior Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyampaikan, menaikkan penerimaan pajak dengan cara mengerek tarif PPN kurang tepat. Menurutnya, pemerintah bisa mencabut insentif pajak dari korporasi untuk menarik penerimaan lebih banyak.
Hasil hitungannya, penerimaan pajak yang akan diterima dari naiknya PPN menjadi 12% hanya akan menambah penerimaan pajak sekitar Rp 60 triliun. Sementara itu, pemerintah bisa memperoleh lebih banyak penerimaan atau sekitar Rp 200 triliun dengan mencabut insentif pajak bagi korporasi besar, seperti perusahaan batubara.
“Jadi coba bayangkan petani kita, petani sawit kita sawitnya di ekspor kena bea keluar dan bea sawit. Batubara enggak ada bea-beaan. Jahat ya negara ini, ke rakyatnya dipajakin terus tapi ke korporasi yang segelintir itu enggak dipajakin,” tutur Faisal dalam diskusi Review RAPBN 2025, Rabu (21/8).
Baca Juga: Target Penerimaan Pajak Naik di RAPBN 2025, PPh dan PPN Jadi Andalan
Faisal menyarankan pemerintah bisa mengambil contoh dari Australia yang menerapkan pajak durian runtuh atau windfall profit tax. Ini mengingat Indonesia merupakan negara yang kekayaan alamnya melimpah.
“Di Mongolia windfall 70% diambil negara bukan rugi,” kata Faisal.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Kementerian Keuangan akan menyerahkan kebijakan tarif PPN 12% kepada pemerintahan baru, yakni pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Yang (tarif PPN) 12% adalah untuk tahun depan kami tentu serahkan kepada pemerintah baru," ujar Sri Mulyani dalam Rapat bersama Komite IV DPD RI, Selasa (11/6).
Sri Mulyani menyebut, kenaikan tarif PPN tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Ada beberapa pertimbangan pemerintah menetapkan tarif PPN dalam UU tersebut, yakni untuk menjaga perekonomian Indonesia dan di sisi lain diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News