Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, El Nino lebih merugikan ketimbang La Nina.
Meski demikian El Nino juga memungkinkan penambahan luas tanam/panen di lahan-lahan rawa dan pasang surut. Akan tetapi secara umum penambahan tersebut lebih kecil ketimbang penurunan luas panen akibat kekeringan.
"Karena itu, penting melakukan mitigasi dan antisipasi. El Nino dan La Nina itu frekuensinya makin sering berulang 2-3 tahun sekali. Saya yakin, K/L teknis sudah terbiasa dengan antisipasi dan mitigasi. Tinggal memastikan antisipasi dan mitigasi itu betul-betul bisa dieksekusi di lapangan dan petani betul-betul bisa disiapkan untuk mengantisipasinya," kata Khudori kepada Kontan.co.id, Rabu (19/7).
Baca Juga: Antisipasi Cuaca Ekstrem El Nino, Ini Stretagi Kementan
Ia menjelaskan, berdasarkan informasi BMKG sampai hari ini perkiraan El Nino skalanya antara rendah dan sedang.
Ia menyebut, dampak El Nilo hingga saat ini belum terasa ke pertanian. Namun, perlu diwaspadai bahwa dampak langsung dari El Nino adalah berkurangnya air untuk budidaya pertanian.
"Tidak seperti banjir yang berdampak segera dan jangka pendek. Kekeringan akibat menurunnya ketersediaan air itu seperti bencana merangkak, pelan-pelan tidak terasa, tapi dampaknya lebih berat," kata Khudori.
Sebelumnya pernah terjadi fenomena El Nino berat tahun 1997-1998 atau 2015, dimana dampaknya cukup terasa. Akan tetapi Khudori mengatakan, seberapa besar dampak El Nino kali ini, masih belum diketahui.
"Semoga skalanya hanya sedang atau moderat dan dampaknya tidak begitu besar," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa pihaknya menyiapkan sejumlah provinsi yang akan menjadi penyangga dalam antisipasi dan mitigasi dampak El Nino.
Khudori bilang, enam provinsi yang digunakan penyangga tersebut merupakan lumbung padi. Dimana enam provinsi itu merupakan provinsi penghasil padi yang cukup besar.
Baca Juga: Pastikan Stok Beras Aman, Mentan: Sampai Juli Masih Ada Panen Di Atas 800.000 Ha
Bahkan, Sulawesi Selatan dan Lampung kata Khudori merupakan dua provinsi dengan surplus padi/beras yang besar.
"Dugaan saya, kenapa fokus ke 6 provinsi karena wilayah itu sebagai produsen pangan, terutama padi. Tentu fokus kepada 6 provinsi itu bukan berarti mengabaikan Jawa. Karena sampai saat ini Jawa merupakan produsen pangan terbesar yang belum tergantikan," jelasnya.
Menurutnya, andil Jawa dalam produksi padi, jagung, kedelai, gula lebih dari 50% dari produksi nasional. Jawa juga penghasil produk peternakan seperti telur, daging ayam broiler, daging sapi, produk hortikultura yakni aneka sayuran dan buah-buahan yang belum tergantikan oleh wilayah di luar Jawa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News